Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menolak upaya pemerintah dalam membuka tambang pasir laut hasil sedimentasi.
Menurut Walhi, kebijakan pengelolaan hasil sediementasi di laut hanya berorientasi bisnis semata yang dipastikan merusak ekosistem laut dan memicu banyak dampak negatif.
"Negara hanya melihat sumber daya alam sebagai modal yang harus dikeruk tanpa mempertimbangkan akibatnya. Kebijakan ini justru akan melegalkan aktivitas tambang pasir dan membuka keran ekspor, bukan untuk menjaga kesehatan laut dan memastikan keamanan jalur pelayaran. Peraturan ini,” ujar Even Sembirin, Direktur Walhi Riau dalam keterangan yang diterima Kontan.co.id, Selasa (30/7).
Baca Juga: KKP: 66 Perusahaan Sudah Ajukan Izin Pengelolaan Tambang Pasir Laut Hasil Sedimentasi
Even juga menilai kebijakan ini bertolak belakang dengan prinsip ekonomi biru yang digaungkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengutamakan ekologi sebagai tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan.
Selain itu Tim percepatan reformasi hukum, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga telah mengusulkan agar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dibatalkan, dalam dokumen Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum.
Hal ini karena membahayakan ekosistem laut dan kehidupan nelayan tradisional serta terbukti menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Lebih lanjut, Walhi juga mengecam kebijakan KKP yang yang telah menetapkan lokasi penambangan pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
Baca Juga: KKP Mengaku Masih Kaji Pengaturan Ekspor Pasir Laut
Diketahui, dalam balied pengelolaan hasil sedimentasi laut, KKP membuka pendaftaran bagi pengusaha untuk menambang pasir laut yang tersebar di laut Jawa, Selat Makassar, dan Natuna-Natuna Utara.
Selain itu, pemerintah juga memasukan Kepulauan Riau meliputi perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan yang menjadi target penambangan pasir laut.
Menurutnya hal ini akan menambah beban lingkungan diantara ancaman Program Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City yang akan menggusur 7.500 jiwa masyarakat dari 16 kampung tua di Pulau Rempang.
"Sampai saat ini masyarakat masih bertahan menolak relokasi, hal ini mereka lakukan untuk menjaga marwah mereka sebagai orang melayu yang menjaga kondisi alam sekitar dengan konteks budaya lokal untuk mencari penghidupan,” urainya.
Baca Juga: Menteri Kelautan dan Perikanan: Belum Ada yang Ekspor Pasir Laut
Sebelumnya, Sekretaris Dirjen Pengelolaan dan Ruang Laut, KKP, Kusdianto menegaskan bahwa pemerintah hingga kini belum membuka keran eskpor pasir laut hasil sedimentasi.
Hanya saja, ada 66 perusahaan yang sudah mendaftar pengelolaan tambang pasir laut hasil sedimentasi ini.
"Ada 66 perusahaan yang sudah mendaftar itu sedang kita teliti semua aspek kita lihat, tapi kita belum bicara soal ekspor," jelas Kusdianto dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja KKP di Jakarta, Selasa (30/7).
Meski begitu, begitu belum ada satupun perusahaan yang telah mendapatkan izin pengelolaan. Menurutnya banyak hal yang perlu dikaji sampai pemerintah bisa mengeluarkan izin terkait pemanfaatan pasir laut itu.
"Jadi kita belum ada dan belum pernah mengeluarkan izin terkait pemanfaatan sedimentasi ini," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News