Reporter: kompas.com | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok menuai pro kontra di kalangan masyarakat dan pelaku industri.
Tapi, Peneliti Lembaga Demografi FEUI Abdillah Ahsan menilai, kenaikan cukai untuk hasil tembakau sebesar 23% pada 2020 dengan HJE rokok naik sebesar 35% masih rendah.
Kenaikan cukai dan HJE tersebut, menurut Abdillah, belum akan efektif untuk menurunkan konsumsi rokok yang selama ini menyasar anak-anak dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Baca Juga: Begini penjelasan Kemenkeu soal kenaikan tarif cukai rokok 23% tahun depan
"Untuk sigaret kretek mesin (SKM) golongan I kenaikannya harus dua kali lipat. Karena itu, kan, capital intensive, enggak terlalu banyak tenaga kerja," ujar Abdillah di Jakarta, Rabu (18/9).
Sebab, "Hasil survei Pusat Kajian Jaminan Sosial, dengan menelefon 1.000 perokok, menunjukkan, saat ditanya pada tingkat berapa akan berhenti merokok, mereka bilang kalau Rp 70.000 per bungkus," kata Abdillah.
Abdillah mengatakan, kenaikan cukai dan JHE rokok sebesar tersebut merupakan rata-rata di antara semua jenis hasil tembakau. Padahal seharusnya, ada ketentuan mininal besaran cukai dan HJE, dan untuk produk rokok-rokok populer kena tarif cukai tertinggi.