Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Wacana pembangunan pabrik suku cadang (spare part) pesawat jenis MA-60 di Indonesia akan sulit direalisasikan. Sebab, satu produk utuh pesawat itu merupakan perpaduan suku cadang dari berbagai negara.
"MA-60 dirancang dari perpaduan produk spare part berbagai produk negara. Perlu jelas hak spare part mana yang akan diminta. Sebab, persoalan mendasarnya bukan pada hal itu. Saya belum menangkap urgensi permintaan itu," tutur Anggota DPR Komisi V DPR RI Abdul Hakim, Senin (16/5).
Wacana pembangunan pabrik suku cadang pesawat MA-60 itu tidak hanya melibatkan maskapai pengguna armada dengan produsen saja. Apabila rencana itu direalisasikan, akan melibatkan banyak aspek bisnis.
Rencana itu, bisa saja dilaksanakan dengan sistem bisnis-bisnis antar korporasi, tapi ada persoalan keselamatan yang menjadi pertimbangan.
"Masalah sebenarnya bukan menjalin business to business, tapi bagaimana maskapai penerbangan kita bisa memberikan jaminan keselamatan pada para penumpangnya dengan pemakaian spare part itu," kata dia.
Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo berpendapat, PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) melalui pemerintah harus meminta hak membangun pabrik suku cadang pesawat jenis MA-60 sebagai daya tawar pembelian armada ke Xian Aircraft.
"Harusnya pemerintah minta hak untuk bangun pabrik suku cadang MA-60 di Indonesia. Jangan hanya beli dan semuanya harus tetap mengandalkan pasokan China. Harusnya pabrik itu jadi bargaining position kita," tutur dia.
Seperti diketahui, PT MNA membeli 15 pesawat jenis MA-60 dari Xian Aircraft dengan sistem penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement/SLA) dari Exim Bank of China sebesar US$161 juta.
Namun, alokasi SLA total sebesar 1,8 miliar yuan itu diberikan dalam bentuk pengadaan pesawat MA-60 dan alat-alat pendukung pesawat.
Sebanyak US$13 juta digunakan pengadaan satu unit simulator, sebesar US$18 juta untuk pelatihan 151 pilot, teknisi, dan awak kabin. Sedangkan dana sebesar US$20 juta pengadaan alat pendukung operasional dan suku cadang, dan US$8 juta untuk pengadaan KM43.
Sisanya sebesar US$161 juta merupakan jatah pengadaan 15 pesawat buatan Xian Aircraft dengan nilai masing-masing sebesar US$11,260 juta. Konversi nilai tersebut menggunakan kurs Rp8.700 per dollar AS.
Namun, PT MNA melalui pemerintah tidak mengajukan persyaratan apapun sebagai daya tawar atas pembelian sekaligus 15 pesawat tak bersertifikasi Federal Aviation Administration (FAA).
Maskapai itu melalui persetujuan pemerintah langsung mengamini pembelian 15 pesawat yang dua unit di antaranya merupakan pesawat sewaan PT MNA pada 2007. Artinya, 13 unit berstatus baru, sedangkan dua unit merupakan pesawat sewaan PT MNA yang sudah terpakai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News