kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

UU MD3 jadi tameng kritik DPR


Kamis, 15 Maret 2018 / 18:28 WIB
UU MD3 jadi tameng kritik DPR
ILUSTRASI. DEMO MENOLAK REVISI MD3


Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-Undang tentang Majelis Permusyawarahan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) telah resmi memiliki nomor dan sah tercatat di lembar administrasi negara. UU MD3 diberi nomor UU Nomor 2 Tahun 2018.

Artinya, beleid ini secara otomatis sah untuk disahkan. Meski, Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan tidak menandatangani UU MD3 hingga 30 hari setelah disahkan DPR pada 12 Februari lalu.

Kontroversi mengiringi lahirnya payung hukum ini. Lantaran, sejumlah pasal mengundang reaksi terutama menyoal pemanggilan paksa, penyanderaan dan pidana bagi individu yang mengkritik dan menolak panggilan DPR.

Lebih rinci mengenai kontroversi pada UU ini terdapat pada tiga pasal. Pertama, Pasal 73 tentang pemanggilan paksa dan sandera pada masyarakat yang tidak memenuhi panggilan DPR. Kedua, Pasal 122 mengenai langkah hukum atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan dan anggota DPR.

Ketiga, Pasal 245 yang mengatur pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.

Sebagian masyarakat melihat hal tersebut sebagai bukti kemunduran proses demokrasi Indonesia. Pun berbondong-bondong tiga pemohon sudah mengajukan gugatan akan pasal-pasal kontroversial ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada pekan lalu (8/3).

Hasilnya, MK meminta pemohon dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan dari pasangan individu Warga Negara Indonesia, untuk memperbaiki teknis pengajuan gugatan sebelum masuk ke tahap berikutnya.

Perwakilan FKHK, A. Irman Putra Sidin dalam sidang tersebut mengatakan DPR sesungguhnya didesain untuk menghadapi kekuasaan dan membuat peraturan. Bukan untuk memiliki perasaan dan merasa terhina karena dikritik.

 "Justru dengan UU ini maka fungsi aspirasi DPR tidak berjalan, dan instrumen panggilan paksa justru mencoreng DPR," katanya pada sidang tersebut.

Pernyataan tersebut disetujui oleh Direktur Populi Centre, Usep S Ahyar. Menurutnya, ketika UU dibawa ke judicial review, sesungguhnya itu merupakan kritik keras karena secara gamblang mempertanyakan kemampuan DPR menyusun peraturan.

UU ini juga jadi tambah pelik berkat fungsi pasal 245 yang mengharuskan adanya rekomendasi MKD sebelum memeriksa anggota DPR. Pasal ini memberi sinyal keras bahwa kedua lembaga tersebut saling bekerja-sama melindungi anggotanya. "Dikhawatirkan MKD justru akan melindungi teman-teman mereka di DPR," kata Usep pada KONTAN, Kamis (15/3).

Di sisi lain, Usep mengakui kualitas kritik masyarakat Indonesia memang masih dipengaruhi oleh hoax atau berita bohong. Tak lupa ada juga black campaign dan negatif campaign yang kerap berseliweran terutama bila mendekati momentum pemilihan umum seperti saat ini.

Namun pada dasarnya, baik DPR dan masyarakat harus sama-sama memahami perbedaan antara kritik dan penghinaan. Kritik adalah mengungkapkan fakta yang dirasa harus diperbaiki, sedangkan penghinaan bersifat pribadi.

Bisa jadi, UU MD3 diteken untuk mengurangi penghinaan pada aparat DPR. Tapi Usep melihat seharusnya, DPR memperbanyak upaya literasi media dan politik kepada masyarakat ketimbang memanggil paksa pengkritik.

Tak hanya masyarakat yang dibuat gerah, Jokowi juga sudah kerap kali ditekan untuk membatalkan UU MD3 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun Jokowi tidak membubuhi tanda tangan penolakan hingga UU tersebut menjadi sah.

Usep melihat hal ini sebagai strategi yang cukup menarik. Pasalnya, bila UU MD3 dibatalkan, maka prosesnya akan dikembalikan lagi ke DPR untuk dibahas ulang.

Dus, proses gugatnya sebaiknya diserahkan kepada masyarakat yang membawa UU ini ke meja judicial review MK. "Jokowi sepertinya menghindar posisi itu, karena bakal dibahas lagi di DPR. Jadi dibiarkan saja di judicial review di MK," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×