Reporter: Leni Wandira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta kembali mengemuka, menyusul polemik kewajiban pembayaran royalti musik oleh pelaku usaha seperti hotel, restoran, dan kafe.
Sejumlah pakar hukum menilai, aturan yang ada belum memberikan kejelasan dan keadilan proporsional, baik bagi pencipta lagu maupun pengguna karya, sehingga revisi UU Hak Cipta dianggap mendesak.
Abdul Fickar Hadjar, ahli hukum Universitas Trisakti menilai, UU Hak Cipta perlu diperbarui agar selaras dengan perkembangan teknologi digital, kemunculan platform baru, hingga tantangan dari kecerdasan buatan (AI).
Ia menekankan bahwa regulasi harus memperkuat perlindungan hak cipta sekaligus memastikan mekanisme pembayaran royalti dari pelaku usaha termasuk restoran, hotel, dan tempat hiburan berjalan adil.
Baca Juga: Pengusaha Hotel dan Restoran Keluhkan Tarif Royalti Musik, Minta Regulasi Direvisi
Menurut Fickar, pengaturan yang ada belum sepenuhnya sinkron dengan kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Secara norma, UU dan PP terkait sudah menjelaskan fungsi pengelolaan royalti, tapi praktiknya sering menimbulkan saling tidak percaya antar pihak. Banyak yang belum yakin siapa membayar kepada siapa, dan bagaimana royalti itu dijalankan,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (10/8/2025).
Setiyo, pengajar hukum Universitas Mulawarman menambahkan, titik lemah aturan saat ini ada pada definisi dan batasan yang kabur terkait “penggunaan komersial” karya musik. Hal ini, menurutnya, menjadi sumber sengketa antara pencipta dan pelaku usaha.
“Kalau definisinya tidak jelas, pelaku usaha akan merasa terbebani secara berlebihan, sementara pencipta merasa haknya tidak terpenuhi. Akhirnya, masing-masing pihak saling curiga,” ujarnya kepada kontan hari ini.
Ia menilai revisi UU Hak Cipta harus memuat penjabaran rinci mengenai siapa yang wajib membayar royalti musik, siapa yang berhak menerima, dan prosedur penarikannya. Tanpa kejelasan ini, pelaksanaan di lapangan akan sulit.
"Jangan sampai aturan hanya mengikat di atas kertas, tapi di bawah tidak bisa dijalankan karena tidak ada panduan teknis yang memadai,” ujarnya.
Baca Juga: Inilah Daftar Musisi Gratiskan Royalti Musik, Tapi Aturan Royalti Bukanlah Per Lagu
Setiyo juga menyoroti urgensi memperbaiki tata kelola LMKN. Ia menilai lembaga ini harus memiliki sistem pelaporan terbuka, misalnya laporan tahunan yang mudah diakses publik dan memuat informasi detail tentang besaran royalti yang diterima serta didistribusikan.
"Transparansi ini penting bukan hanya untuk melindungi pencipta, tapi juga untuk membangun kepercayaan pengguna, termasuk pengusaha hotel dan restoran,” tambahnya.
Revisi UU Hak Cipta, menurut para pakar, sebaiknya mencakup tiga poin utama: penegasan perlindungan dan hak pencipta, penyesuaian pengaturan untuk era digital dan media sosial, serta sinkronisasi pengelolaan komersial dengan peraturan pelaksana yang lebih detail.
Selanjutnya: AAJI: Asuransi Jiwa Masih Fase Penyesuaian SE OJK soal Unitlink
Menarik Dibaca: Kulit Kering dan Kulit Berminyak Perlu Penanganan Berbeda lo, Simak Tips Berikut Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News