Reporter: Venny Suryanto, Rahma Anjaeni, Yusuf Imam Santoso | Editor: Adinda Ade Mustami
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Tekanan pada perkonomian dalam yang berasal dari pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) belum usai. Salah satunya, tercermin kinerja penerimaan pajak yang semakin memble.
Konsekuensinya, penerintah mengandalkan utang untuk membiayai perekonomian. Termasuk untuk penanganan dampak dari wabah virus tersebut.
Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari-Mei 2020 sebesar Rp 444,6 triliun. Angka ini turun 10,8% year on year (yoy).
Baca Juga: Tertekan dalam, penerimaan pajak Januari-Mei 2020 turun 10,8%
"Seluruh sektor mengalami tekanan yang hampir serupa, yaitu menurunnya penyerahan barang dan jasa," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers virtual, Selasa (16/6).
Setidaknya, ada lima hal yang menjadi batu sandungan penerimaan pajak. Pertama, kontraksi kegiatan impor dan perlambatan penyerahan barang dalam negeri menekan sektor manufaktur dan sektor perdagangan.
Baca Juga: DDTC: Kontraksi PPN mengonfirmasi pelemahan konsumsi
Kedua, penerimaan dari sektor keuangan juga mulai terpukul oleh perlambatan kredit dan meningkatnya kredit macet alias non performing loan (NPL). Ketiga, penurunan harga komoditas masih berlanjut sehingga semakin menekan sektor pertambangan.
Keempat, penurunan kegiatan konstruksi dan penjualan properti masih menekan sektor konstruksi dan real estat. Kelima, penurunan pengguna transportasi dan pembangunan sarana penunjang masih terus menggerus penerimaan sektor transportasi dan pergudangan.
Kemkeu juga mencatat, realisasi belanja negara turun 1,4% yoy menjadi Rp 843,9 triliun pada akhir Mei lalu. Sri Mulyani bilang, penurunan belanja negara ini, terutama belanja kementerian dan lembaga (K/L), sejalan dengan kebijakan refocusing dan realokasi anggaran yang dijalankan sejak April lalu.
Meski demikian, Menkeu bilang, pemerintah memberikan bantalan kontraksi ekonomi dari anggaran belanja bantuan sosial (bansos) yang tumbuh cukup tinggi mencapai 30,7% yoy.
"Ini menggambarkan upaya kami untuk memberikan bantalan sosial akibat berbagai kontraksi ekonomi," kata Sri.
Baca Juga: Sri Mulyani pastikan tarik PPh Netflix, Spotify, dan Zoom setelah konsensus global
Dengan realisasi penerimaan dan belanja tersebut, realisasi defisit anggaran per akhir Mei mencapai Rp 179,6 triliun atau setara 1,01% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Rendahnya penerimaan, membuat pemerintah mau tidak mau menarik utang untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan anggaran, termasuk biaya penanganan dampak Covid-19. Terlebih, Sri Mulyani juga memperbesar anggaran tersebut dari sebelumnya sebesar Rp 677,2 triliun menjadi Rp 695,2 triliun.
Baca Juga: Meski defisit melebar, strategi pembiayaan APBN dipastikan tidak berubah
Makanya, realisasi pembiayaan utang pemerintah juga membengkak, yakni menjadi sebesar Rp 360,7 triliun atau naik 123% yoy. Adapun realisasi penerbitan surat berharga negara (SBN) hingga akhir Mei lalu telah mencapai Rp 36o triiliun, naik hampir dua kali lipat dari realisasi pada akhir Mei 2019.
"Pasar SBN sudah mulai bullish seiring dengan tren incoming bid lelang surat utang negara (SUN) yang mulai naik sejak April. Bahkan incoming bid dari investor asing sudah berada pada kondisi normal seiring dengan terjadinya net buy dari investor asing pada beberapa pekan terakhir," tambah Menkeu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News