Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Utang pemerintah terus meningkat selama masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Namun, kenaikan utang ini tidak diimbangi oleh pertumbuhan penerimaan negara dan rasio pajak yang seharusnya mengikutinya.
Menurut Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza, setiap tahunnya, pertumbuhan utang pemerintah lebih tinggi daripada rasio pajak.
Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, kinerja rasio pajak tidak mengalami peningkatan yang signifikan, bahkan cenderung menurun, meskipun pemerintah telah melaksanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Baca Juga: Dampak Utang Jumbo Perusahaan BUMN Terhadap Kinerja Industri Perbankan
Menurut catatan Handi, pada saat transisi antara pemerintahan Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014, utang pemerintah sebesar Rp 2.608 triliun, setara dengan 24,68% dari produk domestik bruto (PDB).
Namun, pada tahun 2023, utang pemerintah di bawah pemerintahan Jokowi melonjak menjadi Rp 8.041 triliun, empat kali lipat dari posisi sebelumnya.
Sebagai akibatnya, rasio utang pemerintah pada akhir 2023 mencapai 38,11% dari PDB. Meskipun posisi ini mengalami penurunan setelah mencapai puncak tertingginya pada tahun 2021 sebesar 41%.
Di sisi lain, rasio pajak Indonesia saat transisi pemerintahan pada tahun 2014 adalah 13,1% dari PDB. Namun, pada akhir 2023, rasio pajak turun menjadi 9,61% dari PDB.
Baca Juga: Menelisik Dampak Utang Jumbo Perusahaan BUMN di Perbankan Tanah Air
Handi mengatakan bahwa ketidakseimbangan antara pertumbuhan utang dan rasio pajak akan berdampak pada beban utang yang harus ditanggung oleh pemerintah. Selain itu, indikator pengelolaan utang pemerintah juga telah melampaui batas yang direkomendasikan.
Contohnya, biaya utang pemerintah pusat yang terus meningkat melebihi penerimaan negara. Pada tahun 2020, rasio pembayaran utang terhadap pendapatan pemerintah mencapai 42,7%, melebihi batas yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 35%.