kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Usia produktif bertambah: bak pisau bermata dua


Kamis, 23 Juni 2011 / 09:24 WIB
Usia produktif bertambah: bak pisau bermata dua
ILUSTRASI. Karyawan mengamati layar pergerakan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (10/9/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis (10/9/2020) pukul 10.36 WIB turun tajam sebesar lima persen pada level 4.892,87 atau turun 257,49 poin


Reporter: Rika, Fahriyadi | Editor: Edy Can

JAKARTA. Indonesia diperkirakan menerima 'bonus demografi' hingga tahun 2025. Pada periode ini, jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncaknya, sehingga diharapkan bisa jadi motor ekonomi. Tapi, ironisnya, jika pemerintah tak siap, keuntungan ini pun bisa berbalik menjadi senjata makan tuan.

Bonus demografi adalah keuntungan yang diperoleh ketika jumlah penduduk usia produktif, yakni 15 tahun–64 tahun, sangat besar. Sementara usia muda atau di bawah 14 tahun plus usia lanjut yang di atas 65 tahun belum banyak. Dengan begitu, angka ketergantungan, yang menggambarkan perbandingan usia produktif dan usia nonproduktif, merosot.

“Sejak tahun 2005–2025 kita menerima bonus demografi,” kata Wendy Hartanto, Direktur Statistik Kependudukan dan Tenaga Kerja Biro Pusat Statistik (BPS), kepada KONTAN, kemarin (22/6).

Wendy menjelaskan bahwa sebelum tahun 2005, yang dominan adalah penduduk usia muda. Mereka ini tumbuh menjadi usia produktif yang puncaknya terjadi pada tahun 2010–2020.

BPS memprediksi angka ketergantungan selama satu dekade itu sekitar 44,46%–46,64%. Titik terendahnya terjadi pada tahun 2018, yakni sebesar 44,46%.

Pisau bermata dua

Indonesia punya cukup banyak waktu guna memanfaatkan bonus demografi ini. Namun, setelah tahun 2025, yang terjadi justru sebaliknya. “Kita akan menanggung banyak penduduk usia tua yang tidak produktif,” jelas Wendy.

Namun, penurunan angka ketergantungan bak pisau bermata dua: bisa jadi bonus atau justru jadi beban. Agar bisa jadi bonus, ketersediaan lapangan kerja dan peningkatan keterampilan tenaga kerja merupakan faktor penentu. “Jangan sampai banyak tenaga kerja malah menganggur dan lari ke narkoba dan kriminalitas,” kata Wendy.

Ia menyarankan pemerintah segera menambah kualitas tenaga kerja ke sektor yang formal. Sebab, hingga kini masih lebih banyak tenaga kerja yang bekerja di sektor informal.

Sri Adiningsih, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), menambahkan, jika lapangan kerja di dalam negeri minim, bisa jadi angka pengangguran justru naik. Kemungkinan lainnya, para pekerja usia produktif lari bekerja ke luar negeri.

Ia pun mengimbau pemerintah untuk mempersiapkan semuanya dari sekarang. Misalnya dengan menggiatkan bisnis dan investasi serta membangun infrastruktur yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Lebih riil lagi, ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menambahkan, pemerintah perlu mengembangkan sektor industri dan pertanian. Sebab, keduanya dapat menyerap tenaga kerja usia produktif dalam jumlah besar.

“Pemerintah harus memperlebar konsentrasi pengembangan ekonomi yang selama ini hanya fokus pada sektor yang menyerap tenaga kerja sedikit seperti sektor keuangan dan pasar modal,” ujarnya. Dalam hal ini, katanya, pemerintah bisa mencontoh China yang telah sukses memanfaatkan bonus demografinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×