Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan utang luar negeri (ULN) swasta Indonesia melaju cepat setahun terakhir dinilai wajar sejumlah ekonom. Periode Januari 2019, Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan ULN swasta mencapai 10,8% year-on-year (yoy) dengan total US$ 193,1 miliar per Januari 2019.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, laju pertumbuhan ULN swasta yang meningkat sejak tahun lalu terbilang wajar. Pasalnya, pertumbuhan utang tersebut sejalan dengan kebutuhan pembiayaan yang dibutuhkan perusahaan, terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terlibat dalam proyek prioritas pemerintah pusat.
"Ini juga sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang terus membaik seiring dengan pembangunan proyek pemerintah sehingga mendorong kebutuhan pembiayaan dari ekstenal," kata Josua kepada Kontan.co.id, Minggu (17/3).
Selain itu, Josua berpendapat, tingkat suku bunga acuan negara luar yang masih relatif rendah dibandingkan suku bunga acuan domestik juga menjadi pemicu perusahaan swasta berutang ke luar negeri. Sebut saja Jepang yang menurut laporan BI menjadi negara kedua kreditur terbesar ULN swasta dengan total pinjaman mencapai US$ 16,54 miliar per akhir Januari lalu.
Sebaliknya, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menuturkan, tingkat suku bunga acuan bukan menjadi faktor utama yang mendorong laju pertumbuhan ULN swasta Indonesia.
"Dampak kenaikan suku bunga BI sebanyak 175 basis poin (bps) sepanjang 2018 tidak begitu diikuti kenaikan suku bunga kredit perbankan seperti sebelum-sebelumnya," ujar Lana kepada Kontan.co.id, Minggu (17/3).
Di sisi lain, Lana menilai, perbankan justru tengah mengambil sikap konservatif dalam menyalurkan kredit di tengah masih tingginya ketidakpastian dan sentimen di pasar. Belum lagi, kondisi likuiditas yang semakin mengetat di dalam negeri lantaran pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tak sejalan dengan pertumbuhan kredit membuat perbankan lebih sulit menyalurkan pinjaman.
"Ini juga yang menjadi faktor perusahaan lebih banyak meminjam ke luar negeri karena kapasitas perbankan dalam negeri juga terbatas untuk memberi pinjaman sesuai kebutuhan," lanjutnya.
Lana berpendapat, posisi utang swasta terutama BUMN saat ini masih cukup aman. Terutama, dengan adanya kewajiban dari BI kepada perusahaan untuk melakukan hedging dalam rangka memitigasi risiko kurs utang berdenominasi mata uang asing.
Sementara, Josua mengimbau agar perusahaan tetap mengantisipasi utang jatuh tempo dalam waktu pendek.
"Porsinya memang masih sekitar 24% dari keseluruhan ULN swasta saat ini, tapi saat jatuh tempo ini akan meningkatkan kebutuhan terhadap dolar di dalam negeri. Mudah-mudahan cadangan devisa tetap meningkat dan capital inflow terus terjaga sepanjang tahun ini," tandas Josua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News