Reporter: Ardian Taufik Gesuri, Jane Aprilyani | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sepertinya masih membutuhkan waktu lama lagi. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla akan mempertahankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu). Namun, Jokowi akan memberikan tambahan kewenangan bagi DJP.
Padahal, sebelumya, BPN menjadi salah satu agenda pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II. Rencananya, BPN terbentuk dari pemisahan DJP, lalu diberi sejumlah kewenangan baru.
Pemerintah terdahulu sudah memiliki dua opsi pembentukan BPN. Pertama, BPN sebagai sebuah lembaga tetapi di bawah otoritas Kemkeu. Skema seperti ini sama seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dulu berada di bawah Kementerian Perdagangan. Kedua, BPN sebagai lembaga di luar Kemkeu dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bilang, pemerintah harus menunda pembentukan BPN. "Itu bukan kebutuhan mendesak," ujar Bambang saat sarasehan dengan pemimpin redaksi dari berbagai media massa nasional pada pekan lalu.
Selain itu, pembentukan BPN juga bakal membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan pemikiran. Ada banyak aturan yang harus diubah, sehingga akan menyita waktu dan tenaga. Akibatnya, pemerintah tak punya waktu mengejar target penerimaan.
Padahal, pemerintah mematok penerimaan negara dari sektor perpajakan tahun depan mencapai Rp 1.380 triliun, naik dari target tahun ini Rp 1.246,11 triliun.
Dari jumlah itu pun, Jokowi masih meminta Kemkeu untuk menambah target setoran pajak sebesar Rp 600 triliun atau menjadi Rp 1.846,11 triliun. "Lebih baik tenaganya diutamakan di bidang ini," jelas Bambang.
Apalagi, Kemkeu juga berkaca dari hasil pemisahan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dari Kemkeu, untuk didirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Ada divisi di Bapepam-LK yang tidak ikut ke OJK, butuh dua tahun lebih untuk menyatu kembali ke Kemkeu," ujar Bambang.
Oleh karena itu, Kemkeu akan menjaga DJP tetap di bawahnya. Untuk mempermudah merealisasikan target pajak, DJP akan mendapatkan kewenangan tambahan berupa kebebasan merekrut dan memecat pegawai.
Selama ini, pemecatan dan perekrutan pegawai di DJP maupun Kemkeu harus melalui Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB). "Pak Jokowi sudah menyetujuinya, tinggal diteruskan ke Kementerian PAN-RB," terang Bambang
Yustinus Praswoto, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), berpendapat, DJP memang seharusnya mendapatkan keleluasan mengelola pegawai. Dengan sistem yang ada sekarang, kinerja DJP selalu terhambat di sumber daya manusia.
Saat ini jumlah pegawai pajak sekitar 31.000. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, rasio pegawai pajak terhadap jumlah penduduk mencapai 1:8.064. Bandingkan dengan di Australia yang memiliki rasio 1:1.000 atau Jepang 1:1.818.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News