Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, penolakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap tiga calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial bentuk ketidaksenangan atas putusan Mahkamah Konstitusi yang memangkas kewenangan DPR untuk memilih calon hakim agung.
Putusan MK menyatakan DPR hanya berwenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diusulkan KY. MK membatalkan ketentuan Undang-Undang KY dan UU Mahkamah Agung yang mewajibkan KY mengajukan calon dengan jumlah tiga kali kebutuhan (3:1).
“Kesannya, menurut saya, DPR itu ngambek dengan keputusan MK. Karena selama ini jika dibutuhkan tiga hakim agung, maka KY harus mengajukan sembilan calon hakim. Maka dengan demikian DPR dapat melaksanakan fit and proper test pura-puranya,” kata Refly, kepada Kompas.com, Senin (10/2/2014).
Dalam putusannya, MK menyatakan KY cukup mengirimkan satu nama calon untuk satu kursi hakim agung.
Lebih jauh, Refly menilai, sikap DPR menunjukkan seolah KY tidak profesional dalam menyeleksi para calon hakim agung.
Padahal, dilihat dari segi waktu, seleksi yang dilaksanakan KY jauh lebih lama daripada fit and proper test DPR. Selain itu, menurutnya, seleksi hakim agung juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Setidaknya, anggaran Rp 3 miliar dialokasikan untuk seleksi ini. Akan tetapi, dana sebesar itu seakan sia-sia setelah tiga calon yang diajukan KY ditolak DPR. Bahkan, kondisi itu berpotensi terulang kembali jika DPR tidak melakukan peninjauan saat seleksi berlangsung.
“Penolakan itu terlalu menghina KY. Karena dari sisi materi (kemampuan) sudah selesai di KY. Seharusnya sebelum menolak, mereka (DPR) meninjau proses seleksi itu agar nantinya tidak terjadi penolakan,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, DPR menolak tiga calon hakim agung yang diajukan KY.Ketiga calon itu tidak lolos setelah tidak ada satu pun yang mendapat suara mayoritas. Berdasarkan hasil perhitungan suara, calon hakim agung Suhardjono hanya mengantongi 3 suara. Sementara anggota Komisi III yang tidak setuju 44 suara dan 1 suara abstain. Maria Anna Samiyati mendapat 3 suara setuju, 44 suara tidak setuju, dan 1 suara abstain. Sedangkan Sunarto mendapat 5 suara setuju dan 43 suara tidak setuju.
"Berdasarkan hasil yang saya sampaikan, dengan beberapa kesepakatan bersama, dapat saya sampaikan karena jumlah suara tidak sampai 50 persen plus 1, maka 3 calon hakim agung kami tolak atau tidak mendapat persetujuan," ujar Ketua Komisi III DPR Pieter C Zulkifli. (Dani Prabowo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News