Reporter: Lamgiat Siringoringo |
JAKARTA. Merasa tertipu dengan nama besar, seorang pengusaha Indonesia bernama Dian Patriani menggugat Da Vinci Holding Pte. Ltd. serta Managing Director perusahaan asal Singapura ini yakni Raymond Phua di Pengadilan Tinggi Singapura (The High Court of Republic of Singapore).
Pangkal masalah gugatan ini adalah soal perjanjian waralaba (franchise) yang diteken oleh Dian dan Raymond. Kerjasama waralaba tersebut menyangkut pemasaran beberapa produk. “Raymond memberikan informasi produk yang akan dipasarkan ini didukung oleh Da Vinci Holding,” ujar Wendell Wong kuasa hukum Dian.
Lantaran percaya dengan nama besar Da Vinci yang sudah terkenal di beberapa negara, lewat perusahaannya PT Patria Nusantara Perkasa, Dian sepakat meneken perjanjian waralaba pada 2004. Dalam perjanjian itu, Dian boleh memasarkan produk sepatu dan tas dengan merek dagang Walking Culture selama 10 tahun sampai 2014.
Berjalan dengan waktu, Dian menemukan barang-barang dari Da Vinci ternyata memiliki kualitas yang sangat buruk dan tidak sesuai dengan apa yang janjikan sebelumnya. Dian pun berang ketika mengetahui bahwa Da Vinci mengklaim perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan dengan produk Walking Culture.
Kedongkolan Dian semakin menjadi-jadi setelah mengetahui bahwa perusahaan Walking Culture ternyata sudah tutup sejak tahun 2006. “Walking Culture bangkrut dengan menyisakan utang sebanyak US$ 60.000,” ujar Wendell. Padahal perjanjian waralaba itu masih terus berlaku.
Ternyata, bukan Dian saja yang mengalami nasib serupa. Ada dua perusahaan lain asal Australia, yakni Mentormophosis Pty. Ltd. dan perusahaan asal Singapura yakni DNV Image Pte. Ltd. yang mengalami nasib serupa. Makanya, ketiga perusahaan tersebut bersama-sama menggugat Raymond Phua dan Da Vinci Holding.
Da Vinci Tak Tahu
Ketiga perusahaan menganggap, dalam sengketa ini, perbuatan Raymond tidak bisa dipisahkan dengan jabatannya di Da Vinci Holding dan kapasitasnya sebagai anak pemilik Da Vinci Holding, Tony Phua. Apalagi, dalam pertemuan resmi, anak laki-laki tertua Tony ini selalu memberikan kartu nama Da Vinci. Dalam presentasi tentang Franchise Walking Culture, Raymond juga memberikan penjelasan Walking Culture adalah bagian dari Da Vinci. Makanya, ketiganya memasukkan perusahaan itu ke dalam gugatannya.
Ketiga perusahaan tersebut minta agar pengadilan mengabulkan permintaan ganti rugi atas tindakan Raymond dan Da Vinci. Uniknya, Dian tidak mencantumkan besarnya ganti rugi. “Jika terkabul, baru dirinci berapa total loss-nya,” ujar Dian. Ia mencatat, ada beberapa kerugian seperti biaya pembelian waralaba, investasi tempat, dan biaya publikasi.
Sidang perdana kasus ini sudah digelar awal September 2009 lalu. Saat ini, sidang memasuki agenda pemeriksaan saksi. Dalam persidangan awal, kuasa hukum Raymond, Fan Kin Ning menolak gugatan yang ditujukan pada kliennya. Dia juga menolak telah menyebabkan kerugian pada tiga perusahaan. Menurutnya, hal itu adalah bagian dari risiko bisnis.
Begitu juga sanggahan Da Vinci yang diwakili Molly Lim. Mereka bilang, perusahaan mebel itu tidak mengetahui sama sekali hubungan bisnis dengan masing-masing pihak dalam sengketa tersebut.
Public Relation Manager Da Vinci Indonesia, Francisca Prandayani tidak mengetahui gugatan ini. “Tidak ada hubungannya dengan yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News