kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tiga negara ini dapat berkah dari perang dagang, Indonesia perlu berbenah


Jumat, 09 Agustus 2019 / 18:24 WIB
Tiga negara ini dapat berkah dari perang dagang, Indonesia perlu berbenah


Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Perusahaan di China mulai merelokasikan mayoritas operasional ke Malaysia di tengah perang dagang China- Amerika Serikat (AS) yang kian memanas. Bahkan tidak hanya ke Malaysia, tetapi juga Vietnam dan Thailand.

Perusahaan yang banyak melakukan relokasi menurut Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal adalah perusahaan-perusahaan high technology. Perusahaan-perusahaan tersebut tentu memiliki pertimbangan, terutama soal infrastruktur.

Baca Juga: Berkat perang dagang, Vietnam jadi pemasok komponen Samsung

"Yang dibutuhkan mereka itu seperti jalan dan pelabuhan untuk transportasi, lalu listrik. Apalagi industri hi tech ini sangat bergantung pada listrik. Selanjutnya adalah koneksi internet," kata Faisal kepada Kontan.co.id pada Jumat (9/8).

Dibandingkan dengan Indonesia, tiga negara tersebut dipandang Faisal lebih stabil. Itu yang menjadi pertimbangan perusahaan-perusahaan China untuk melakukan relokasi bukan ke Indonesia.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah dari sisi harmonisasi tax atau aturan perpajakan. Malaysia banyak menerapkan bebas biaya masuk untuk bahan baku. Ini menjadi keuntungan bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang sangat bergantung pada lalu lintas ekspor impor.

"Misal untuk berbelanja bahan baku dari negara lain. Kan tidak pasti semua yang mereka dapatkan ada di daerah relokasi. Kalau bebas biaya masuk itu sangat menguntungkan," tambah Faisal.

Selain itu, lingkungan sosial juga diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan multinasional membutuhkan iklim yang terbuka dengan budaya mereka. Malaysia merupakan negara yang dipandang tepat.

Pertama, Malaysia juga terbiasa menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, banyak komunitas multiras di Malaysia, termasuk China. Jadi itu dipandang memudahkan untuk branding.

Baca Juga: Asosiasi Kaca menyebut tahun ini berat karena marak kaca impor dan harga gas tinggi

Namun, bila dilihat dari segi upah, buruh Malaysia lebih tinggi. Namun, karena ini adalah industri hitech, maka upah buruh bukan sebagai komponen yang terlalu krusial bagi mereka.

Baca Juga: Investasi diproyeksi menggeliat di semester kedua, simak potensinya

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Bila tiga negara tersebut sudah mulai mengecap keuntungan dari perang dagang dengan proses relokasi perusahaan China di tempat mereka, apa yang bisa dilakukan Indonesia?

Menurut Faisal, Indonesia harus terus berusaha untuk menjadi pesaing bagi Malaysia. Bila dari sisi infrastruktur, Indonesia saat ini sudah mulai menyusul dengan pembenahan yang cukup masif. Pasokan listrik dan akses internet Indonesia juga lancar. Selain itu, upah buruh juga lebih murah dibandingkan negara-negara ASEAN.

Hanya dari sisi logistik, Indonesia dinilai masih ketinggalan jauh. "Untuk perusahaan yang bergantung pada supply chain global dan membutuhkan pelabuhan efisien, tentu masih lebih memilih Malaysia, bahkan Singapura. Itu yang harus dibenahi," kata Faisal.

Baca Juga: Butuh insentif dari pemerintah untuk menopang laju industri manufaktur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×