Reporter: Agus Triyono | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Para pengusaha konstruksi yang tergabung dalam Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) mengeluhkan pengenaan pajak penghasilan (PPh) konstruksi. Mereka menilai pengenaai PPh tersebut memberi beban berat kepada kontraktor.
Zali Yahya, Sekjen AKI mengatakan, beban berat tersebut utamanya bila perusahaan konstruksi mengekspor jasa konstruksi mereka. Dari total nilai kontrak proyek yang didapat oleh kontraktor, mereka akan dikenakan pajak sebesar 3%.
Akibat kewajiban tersebut, pengusaha konstruksi, khususnya yang tergabung dalam AKI harus menanggung pajak ganda. "Sebab, di negara tujuan ekspor, kami juga masih dikenakan pajak keuntungan," katanya di Jakarta Kamis (19/5).
Zali meminta kepada pemerintah, Kementerian Keuangan, dan Ditjen Pajak untuk meninjau keberadaan pajak tersebut. Dia berharap, pajak tersebut diubah dari yang saat ini berdasarkan nilai kontrak, menjadi keuntungan.
Langkah ini perlu dilakukan agar pengusaha konstruksi dalam negeri bisa berdaya saing, dan target ekspor jasa konstruksi yang ditetapkan pemerintah bisa tercapai. Sebagai gambaran saja, pemerintah pada tahun 2015- 2019 menargetkan, nilai ekspor jasa konstruksi bisa mencapai Rp 15 triliun.
Yusid Toyib, Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengatakan, target tersebut memang tidak mudah. "Tapi kami akan berusaha," katanya.
Zali mengatakan, selain dihadapkan pada pengenaan PPh Konstruksi yang besarannya mencapai 3% dari nilai proyek tersebut, sektor konstruksi di Indonesia juga masih mendapat beban dari tingginya tingkat suku bunga dan sulitnya akses permodalan.
Selain itu, target ekspor jasa konstruksi juga terkendala oleh pemahaman kontraktor Indonesia terhadap dokumen kontrak yang belum bagus, kendala bahasa dan kemampuan berkomunikasi di kancah internasional. "Bangsa kita terkenal ramah, tapi tidak terbiasa bergaul di lingkungan internasional," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News