Reporter: Herry Prasetyo, Margareta Engge Kharismawati, Oginawa R Prayogo | Editor: Tri Adi
Kesuksesan acapkali diibaratkan sebagai sebuah pintu. Untuk meraihnya, Anda membutuhkan kunci. Kunci sukses pun bisa berbagai macam, tergantung dari pintu kesuksesan yang ingin dibuka.
Bagi pemerintah, pintu kesuksesan terletak pada keberhasilan dalam menjalankan berbagai program yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Sedangkan kunci untuk membuka pintu kesuksesan itu adalah penerimaan pajak.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pengelolaan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak lagi menjadi kunci penting keberhasilan APBN. Sejak menghapus subsidi harga BBM, pemerintah tak lagi pusing di tengah jalan lantaran anggaran subsidi BBM membengkak. Di sisi lain, penurunan harga minyak mentah membikin pendapatan negara yang berasal dari sektor minyak dan gas bumi (migas) merosot. Alhasil, pencapaian target penerimaan perpajakan menjadi satu-satunya kunci sukses pemerintah tahun ini.
Namun, kunci sukses sekaligus juga risiko. Jika kunci tak berada di tangan, jangan harap bisa membuka pintu kesuksesan. Maklum, target penerimaan perpajakan dalam APBN-P 2015 mencapai Rp 1.489,3 triliun. Dibandingkan dengan realisasi penerimaan perpajakan tahun lalu, target perpajakan dalam APBN-P 2015 naik hingga 30,26%. Padahal, sejak 2010, realisasi penerimaan perpajakan tiap tahun paling banter naik 12%. Target penerimaan pajak juga tidak pernah tercapai (lihat infografik).
Alhasil, jika realisasi tak mencapai target, program pembangunan pemerintah akan terancam. Apalagi, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengalokasikan anggaran infrastruktur tahun ini Rp 290 triliun, terbesar dalam sejarah. Jika target penerimaan perpajakan tak tercapai, pembangunan infrastruktur rentan terkendala.
Bank Dunia menyebut target penerimaan perpajakan pemerintah sangat ambisius. Lembaga keuangan internasional ini memperkirakan, penerimaan perpajakan tahun ini hanya sebesar Rp 1.199 triliun. Ndiame Diop, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, mengatakan, realisasi penerimaan perpajakan dibandingkan target akan mengalami selisih alias shortfall lantaran asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah meleset.
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 5,2%. Adapun, dalam APBN-P 2015, pemerintah mematok asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%. Bank Dunia juga memperkirakan, rata-rata harga minyak mentah sepanjang tahun ini sebesar US$ 55 per barel. Sementara pemerintah mematok asumsi harga minyak mentah US% 60 per barel. Akibatnya, penerimaan negara dari sektor migas juga bakal meleset sebesar Rp 282 triliun.
Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi mengatakan, Bank Dunia menghitung perkiraan penerimaan perpajakan berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak justru tidak mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dalam menetapkan target penerimaan pajak. “Kami akan melakukan apa yang belum dilakukan dan menyentuh apa yang belum disentuh,” katanya mengungkapkan “senjata rahasia” pajak.
Pelebaran defisit
Boleh jadi, hitungan Bank Dunia terlalu kecil. Tapi, anggaplah penerimaan perpajakan tahun ini bisa tumbuh 12% seperti tahun 2012. Alhasil, penerimaan pajak tahun ini baru mencapai Rp 1.280,5 triliun atau masih kurang Rp 208,8 triliun dari target yang dipatok.
Berdasarkan realisasi selama ini, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, target penerimaan pajak tahun ini tergolong ambisius. Namun, melihat potensi yang ada, kenaikan target pajak sangat mungkin terjadi.
Yang jelas, Enny mengatakan, jika target pajak tidak tercapai, pemerinah memiliki dua opsi. Pertama, pemerintah bisa melakukan efisiensi dengan memangkas anggaran belanja. Anggaran belanja rutin yang tidak menjadi prioritas bisa menjadi target pemangkasan anggaran. Jika masih belum mencukupi, pemerintah terpaksa memangkas belanja infrastruktur. Tapi, itu mengakibatkan target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai. Kedua, pemerintah menutup defisit anggaran dengan menambah utang.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Robert Pakpahan mengatakan, pemerintah tidak akan memangkas belanja infrastruktur. Jika memang target pajak tak tercapai, pemerintah akan memangkas belanja operasional. Selain itu, pemerintah bisa memperluas defisit anggaran agar semua program pemerintah dapat berjalan.
Dalam APBN-P 2015, pemerintah mematok defisit anggaran Rp 222,5 triliun, atau 1,9% terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, Bank Dunia memperkirakan, defisit anggaran tahun ini bisa melebar menjadi Rp 295 triliun atau 2,5% dari PDB. Jika defisit melebar, Robert mengatakan, pemerintah punya beberapa opsi.
Selain menerbitkan surat utang, pemerintah bisa memanfaatkan sisa anggaran lebih (SAL) yang jumlahnya Rp 60 triliun. Pemerintah juga bisa memanfaatkan pinjaman siaga dari berbagai lembaga keuangan sebesar US$ 5 miliar.
Meski begitu, Robert mengatakan, masih terlalu dini untuk membicarakan kemungkinan pelebaran defisit anggaran. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga enggan buka-bukaan terkait skenario pembiayaan defisit jika penerimaan perpajakan tidak mencapai target. “Kami usahakan tercapai karena kami punya banyak cara,” katanya.
Yang jelas, Presiden Jokowi optimistis, target pajak tahun ini bakal tercapai. Sebab, Ditjen Pajak sudah memiliki sistem dan analisis pajak yang komplet dan jauh lebih baik. Memang, di awal tahun ini, penerimaan perpajakan masih belum maksimal. Tapi, “Nanti akan mulai kelihatan di pertengahan tahun,” ujar Jokowi.
Jika Presiden sudah yakin, mari kita tunggu realisasinya. Semoga bukan nafsu besar namun tenaga kurang.
Laporan Utama
KONTAN No. 26-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News