kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Tantangan dan Keuntungan Indonesia Bila Jadi Anggota OECD


Senin, 18 September 2023 / 08:45 WIB
Tantangan dan Keuntungan Indonesia Bila Jadi Anggota OECD
ILUSTRASI. Sekretaris Jenderal Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Mathias Cormann bersama sejumlah kepala negara di Peace Memorial Park sebagai bagian dari KTT para pemimpin G7 di Hiroshima , Jepang bagian barat 21 Mei 2023.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Indonesia sedang menyiapkan diri menjadi anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Indonesia dinilai bisa mendulang sejumlah manfaat dari keanggotaan OECD, terutama untuk meningkatkan standar kebijakan pemerintah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, pada pertemuan dengan OECD beberapa waktu lalu, 38 negara anggota menyambut baik dan mendukung keinginan Indonesia bergabung. Indonesia butuh harmonisasi regulasi dengan lebih dari 200 standar yang ditetapkan oleh OECD.

"Ini bukan pekerjaan mudah, tentu membutuhkan peran para stakeholder," kata dia, belum lama ini.

Baca Juga: Menko Airlangga: Indonesia Punya 3 Modal Besar untuk Menjadi Negara Maju

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto melihat keinginan RI bergabung dengan OECD lebih sesuai kondisi saat ini. Namun standardisasi kebijakan level negara OECD masih menjadi tantangan yang perlu dikejar Indonesia untuk bisa menjadi negara maju.

"Kalau konsisten dilakukan peningkatan standar ekonomi dan kelembagaan sesuai tujuan OECD, maka potensi untuk perekonomian ke depan akan menguntungkan," kata Eko, Minggu (17/9).

Namun tingkat ketimpangan yang diukur menggunakan rasio gini di beberapa negara maju semakin tinggi. Misalnya, Amerika Serikat yang sebesar 0,353 pada 1974 menjadi 0,415 pada 2019. Juga Jepang, dengan rasio gini 0,5704 pada 2021.

Menurut Eko, pilihan menjadi negara maju tetap lebih menguntungkan ketimbang tetap menjadi negara berkembang. Sebab, tingkat kesejahteraan mereka lebih baik dari negara berkembang, apalagi negara miskin.

Baca Juga: Ekonom Beberkan Keuntungan Indonesia Bergabung dengan OECD Ketimbang BRICS

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai, banyak yang bisa dicontoh Indonesia dari negara anggota OECD selain AS. Misalnya Denmark, Swedia, Belgia dan Finlandia yang ternyata berhasil mereduksi ketimpangan, dan akselerasi penurunan emisi karbon secara bersamaan dengan penerapan pajak tinggi bagi orang kaya.

Bhima bilang, Indonesia perlu meliberalisasi undang-undang (UU) untuk bergabung dalam OECD. Terutama aturan UU soal perizinan, persaingan usaha, hingga perdagangan. Namun ia khawatir aturan itu menjadi kesalahan.

"Karena Undang-Undang tentang Cipta Kerja sudah liberal, ditambah bergabung OECD akan semakin bebas perdagangan Indonesia dan memperkecil perlindungan usaha lokal," tambah dia.

Baca Juga: Indonesia Melobi Lima Pimpinan Negara Maju demi Masuk Keanggotaan di OECD

Sisi positifnya, OECD juga mewajibkan negara anggota untuk meningkatkan penegakan hukum, terutama pada pemberantasan korupsi dan penghindaran pajak lintas negara. Selain itu, Indonesia diminta memperketat perlindungan terkait lingkungan hidup dan mempercepat transisi energi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×