Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan menyebut sinyal resesi ekonomi global tahun depan semakin dekat. Ini terlihat dari kinerja manufaktur yang melambat bahkan terkontraksi di banyak negara. Meski begitu, Indonesia dinilai masih aman dari ancaman tersebut.
Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin menyebut, rendahnya ketergantungan Indonesia terhadap ekspor menjadi keuntungan, sehingga ketika resesi global terjadi, dampaknya ke Tanah Air relatif rendah dibandingkan negara lain.
“Ekonomi global justru semakin melemah. Jadi tanda-tanda resesi pada 2023 memang semakin besar,” kata Rahadian dalam diskusi Indef, Rabu (14/12).
Dia mencatat, lembaga internasional menerbitkan proyeksi terbaru mengenai perlambatan ekonomi global tahun depan. Misalnya, outlook terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia tahun depan hanya akan tumbuh 2,7%, menurun dari tahun ini yang diperkirakan sebesar 3,2%.
Baca Juga: KTT ASEAN-UE, Indonesia Dorong Kebijakan Permudah Perdagangan dan Investasi
Adapun risiko resesi semakin nyata terlohat dari tiga negara paling berpengaruh di dunia mulai mengalami perlemahan ekonomi. Diantaranya Amerika Serikat yang pertumbuhan ekonominya diperkirakan melambat tahun ini dari 1,6% menjadi 1%.
Kemudian, ekonomi Eropa juga melambat nyaris stagnan menjadi 0,5% dari tahun ini 3,1%. Ekonomi Cina diperkirakan tumbuh menguat tahun depan, tetapi masih dibawah 5%.
“Kalau kita anggap ekonomi dunia itu punya 3 lempeng besar ya Amerika, Tiongkok, Eropa, semuanya juga menurun. Jadi ini adalah indikasi bahwa ke depan risiko resesi itu memang semakin besar,” jelasnya.
Dia melihat, pelemahan ini terjadi akibat tingginya tingkat inflasi yang direspon dengan kenaikan suku bunga, utamanya di negara-negara maju. Ia melihat dalam konteks global, meskipun tekanan inflasi mulai menurun saat ini, namun pertumbuhan ekonomi malah justru semakin lemah.
Sehingga, yang perlu diwaspadai ke depan adalah terkait risiko tekanan inflasi, meski pada akhir tahun ini levelnya mulai menurun. Sebab inflasi bisa menyebabkan aktivitas menufaktur menurun.
“Apa indikasi yang kita bisa pakai untuk melihat dampak dari inflasi yang tinggi dan pelemahan ekonomi global? Pertama, manufaktur. Kita melihat aktivitas manufaktur global menunjukkan trend melemah walaupun masih ekspansi, tapi data terakhir sudah menurun,” kata Rahadian.
Adapun aktivitas pabrik-pabrik dunia mengindikasikan tren penurunan. Di ASEAN indeks manufaktur memang masih ekspansif, tetapi mulai mengalami perlambatan. Manufaktur di Malaysia dan Vietnam sudah terkontraksi, di Indonesia juga mulai menurun tetapi masih di atas 50.
Meski begitu, Rahadian mengatakan kinerja neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan surplus selama 30 bulan beruntun. Dia menyebut kinerja ekspor impor Indonesia masih cukup baik meskipun tanda-tanda pelemahan ekonomi sudah mulai terlihat.
Baca Juga: Transformasi BUMN Sukses, Indonesia Makin Optimistis Hadapi Ancaman Resesi Tahun 2023
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News