Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penambangan nikel menjadi perhatian publik setelah viralnya penambangan nikel di Raja Ampat Papua. Penambangan nikel ini dikhawatirkan dapat merusak ekosistem di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Sebelum viralnya tambang nikel di Raja Ampat, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center of Economic dan Law Studies (CELIOS) melakukan kajian terhadap dampak kebijakan hilirisasi nikel di tiga provinsi utama. Yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Direktur Center of Economic dan Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, berdasarkan hasil pemodelan Celios, kontribusi PDB dari aktivitas smelter nikel terhadap PDB nasional mencapai Rp 83,17 triliun (US$ 5,36 miliar) dari tahap konstruksi pabrik dan fasilitas pendukung industri.
Pada tahap ini, tenaga kerja dari berbagai daerah akan diserap untuk mendukung kegiatan dalam fase awal pembangunan smelter.
Baca Juga: Begini Profil PT Gag Nikel, Anak Usaha Antam yang Kelola Tambang Nikel di Raja Ampat
Namun, dampak ekonomi diperkirakan akan menurun pada tahap operasional terutama karena dampak negatif terhadap sektor perikanan.
Skenario yang mendorong dampak negatif tersebut termasuk pencemaran pantai dan penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara yang menghasilkan beban ekonomi dari polusi udara dan lingkungan kepada masyarakat sekitar.
"Selanjutnya, aktivitas industri nikel dapat mengakibatkan penurunan PDB mulai tahun ke-9 atau setelah fase operasional pada tahun ke-7 dan ke-8 karena dampak negatifnya terhadap sektor lain (terutama pertanian, kehutanan, dan perikanan) melalui deforestasi, degradasi lahan, penurunan ekosistem air, dan hilangnya biodiversitas," ujar Bhima saat dihubungi Kontan, Senin (9/6).
Celios mengatakan, dampak positif sebelum tahun ke-9 masih akan terjadi terutama dari penyerapan tenaga kerja dan kegiatan untuk mendukung konstruksi smelter.
Baca Juga: Profil PT Gag Nikel, Anak Usaha Antam Pengelola Tambang Nikel di Pulau Gag Raja Ampat
Sedangkan penurunan dampak PDB setelahnya akan didorong terutama oleh kerusakan lingkungan dan menurunnya stabilitas pasokan bijih nikel dari hasil operasi smelter nikel.
Provinsi-provinsi ini mengalami peningkatan terbesar dalam penyerapan tenaga kerja pada tahun ke-3. Kemudian menurun secara drastis mulai tahun ke-9. Sulawesi Tengah, misalnya, menghasilkan nilai penyerapan tenaga kerja terbesar sebesar 66.008 orang.
Kemudian, jumlah tersebut terus menurun sebanyak 1.144 orang pada tahun ke-15. Penurunan tersebut terjadi mulai dari dua tahun pertama dan dimulai pada tahun ke-9. Provinsi Sulawesi Tenggara tidak jauh berbeda.
Provinsi ini mencapai jumlah pekerja terserap terbanyak sebanyak 25.894 orang, kemudian turun menjadi negatif 2.164 pekerja pada tahun ke-15.
Hal ini menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai yang terburuk dalam total kerugian lapangan kerja di antara provinsi-provinsi lainnya. Maluku Utara pada tahun ke-3 mencapai 14.035 orang pekerja terserap. Kemudian, jumlahnya turun secara drastis dengan berkurangnya 218 orang.
Baca Juga: Tambang Nikel PT Gag Dihentikan Sementara, Menteri ESDM: Kami Cek Lokasinya
Tren ini konsisten dengan proyeksi penurunan output dari pertambangan, penggalian, dan semua sektor lainnya seiring dengan munculnya dampak eksternal negatif yang lebih nyata pada beberapa tahun kemudian.
Berikutnya, dampak pertambangan nikel terhadap sektor pertanian dan perikanan di ketiga provinsi ini cenderung negatif dalam skenario business as usual (BAU). Baik dalam hal nilai tambah ekonomi maupun pendapatan petani dan nelayan.
Tidak hanya pertambahan nilai tak terjadi, tetapi industri nikel dapat menyebabkan kerugian nilai tambah ekonomi lebih dari Rp 6 triliun (US$ 387,10 juta) dalam 15 tahun.
"Begitu pula yang terjadi pada pendapatan petani dan nelayan, yakni adanya kerugian pendapatan sebesar Rp3,64 triliun (USD234,84 juta) dalam 15 tahun," ungkap Bhima.
Selain itu, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) memproyeksikan perkiraan beban kesehatan dan ekonomi yang disebabkan oleh polusi udara yang dihasilkan dari pusat pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara terhadap masyarakat yang tinggal di dekat dan sekitar pulau-pulau tersebut.
Baca Juga: Menteri ESDM Setop Sementara Operasi Tambang Nikel di Pulau Gag Raja Ampat
"Analisis menunjukkan bahwa pengoperasian penuh kapasitas produksi nominal akan mengakibatkan 5.000 kematian dan beban ekonomi sebesar US$ 3,42 miliar per tahun akibat dampak kesehatan terkait polusi udara," ujar Lead Analyst CREA, Lauri Myllyvirta dalam kajiannya.
Seperti diketahui, Kementerian Investasi/BKPM mencatat realisasi hilirisasi smelter nikel sebesar Rp 153,2 triliun atau 8,93% dari total investasi tahun 2024 yang sebesar Rp 1.714,2 triliun.
Selanjutnya: Soal Nikel di Raja Ampat, Walhi: Pertambangan di Pulau Kecil Langgar Aturan
Menarik Dibaca: McDonald's Rilis Menu Baru, Ayam McD Spicy dengan Sensasi Rasa Pedas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News