Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga kuartal III-2018, kinerja sektor industri pengolahan atawa manufaktur masih terbilang ekspansif. Hal ini terindikasi dari Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia Triwulan-III 2018 yang berada pada level 52,02%. Namun, kinerja sektor ini berpotensi melambat seiring dengan tekanan yang lebih besar di tahun depan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, pertumbuhan kinerja industri manufaktur sepanjang tahun ini masih cukup baik. "Saya terima beberapa laporan teman-teman yang bilang kalau pertumbuhan produksi dan penjualan masih berjalan bagus tahun ini, beberapa masih di atas 10%," ujar Hariyadi kepada Kontan.co.id, Jumat (26/10).
Namun, Hariyadi bilang, hal tersebut tak berarti kinerja sektor manufaktur secara keseluruhan sudah bagus. Ambil contoh, sektor properti yang masih stagnan hingga tahun ini. "Sementara, sektor turunan properti itu kan ada banyak, ya itu jadi belum bergairah," kata dia.
Untungnya, Hariyadi menilai, permintaan dalam negeri cukup menopang. Konsumsi kelas menengah atas yang meningkat menjadi trigger bagi pergerakan kinerja sektor manufaktur maupun kinerja perekonomian secara keseluruhan. Terlihat dari industri makanan dan kendaraan bermotor yang masih menunjukkan peningkatan penjualan cukup positif sepanjang tahun ini.
Dus, Hariyadi agak khawatir terhadap prospek kinerja sektor manufaktur di tahun depan, terutama terkait dengan biaya produksi. "Pertama, pengaruh naiknya harga BBM (bahan bakar minyak). Kedua, soal pergerakan kurs rupiah," pungkas Hariyadi.
Menurutnya, produsen cenderung tak mempermasalahkan posisi nominal rupiah yang kini sudah berada di level Rp 15.000. Namun, kekhawatiran terbesar ialah pergerakan nilai tukar rupiah yang liar seperti di tahun ini yang sangat memengaruhi kinerja industri.
Setali tiga uang, Ekonom Josua Pardede menilai, dampak depresiasi rupiah bisa lebih terlihat di tahun depan ketimbang tahun ini. Sebab, menurutnya pengusaha masih lebih memilih mengurangi margin dan profitabilitasnya
"Produsen masih menahan dampak depresiasi rupiah, belum banyak yang pass-through ke konsumen lewat kenaikan harga di tahun ini," kata Josua, Jumat (26/10).
Belum lagi, upah minimum provinsi (UMP) untuk tahun depan dikerek naik. Ini akan menjadi tambahan beban biaya bagi industri manufaktur.
Hariyadi menambahkan, pemerintah juga harus memperhatikan kebutuhan impor sektor manufaktur, terutama untuk kebutuhan bahan baku. "Jangan karena phobia dengan neraca perdagangan, impor komoditas yang diperlukan industri jadi dipersulit. Kalau memang tidak tersedia di dalam negeri, kan mau bagaimana lagi," tukasnya.
Oleh karena itu, Apindo berharap kebijakan terkait impor maupun produksi barang dalam negeri untuk substitusi impor dibuat sejelas mungkin dan berkesinambungan. "Jangan lagi dibikin tarif-tarif baru, atau hambatan-hambatan yang membuat cost industri jadi naik," ujar Hariyadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News