Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Test Test
JAKARTA. Hingga Juni 2008, pemerintah mengidentifikasi adanya surplus pinjaman proyek sebesar US$ 45,5 juta. Potensial loan surplus ini merupakan bagian dari pinjaman program luar negeri senilai US$ 3,6 milliar.
Benny Setiawan, Direktur Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengatakan potensi surplus pinjaman baru diketahui saat pemerintah meneliti lagi kesepakatan-kesepakatan awal pinjaman luar negeri dan kemungkinan penyerapannya pada tahun ini.
"Itu identifikasi sampai bulan Juni 2008. Jumlah itu kemungkinan akan bertambah karena akan kami evaluasi lagi pada bulan triwulan III ini," kata Benny di Jakarta, Selasa (16/9). Surplus itu berasal dari kegiatan-kegiatan yang secara teknis sulit dilaksanakan. Seperti proyek yang mewajibkan pemerintah daerah menyediakan dana pendamping. Program mandek karena pemerintah daerah tak bersedia memberikan dana pendamping itu.
Benny menyebut beberapa contoh proyek yang secara teknis sulit dilakukan. Di antaranya proyek DPU untuk mendukung program infrastruktur pedesaan (rural infrastructure support). Potensi surplus nya mencapai US$ 1,5 juta. Sementara Program Peningkatan Sektor Permukiman dan Perumahan (Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project, NUSSP) senilai US$ 126,5 juta menghasilkan surplus US$ 17 juta.
Dua proyek Departemen Kesehatan termasuk yang menghasilkan surplus cukup besar. Misalnya Proyek Water Suply for Low Community (WSLIC)-II, potensi surplus sebesar US$ 7 juta, dan proyek desentralisasi pelayanan kesehatan (Decentralized Health Services) II sebesar US$ 13 juta. Proyek state audit reform project dari Bappenas juga berpotensi surplus US$ 1 juta.
"Saat ini juga ada satu proyek yang sudah diproses pembatalannya,yaitu proyek health workforce and services Departemen kesehatan dari Bank Dunia sebesar US$ 30,40 juta ," kata Benny. Benny mengaku sudah meminta konfirmasi ke Depkes, dan bersepakat untuk membatalkan pinjaman tersebut. Menurut Benny, pinjaman proyek luar negeri sangat sulit dipindahkan untuk mendanai proyek lain karena terikat dengan kesepakatan pinjaman awal. Untuk memindahkan ke pembiayaan proyek lain maka pemerintah harus memprosesnya dari awal. "Kalau untuk proyek serupa dengan lokasi lain mungkin bisa saja, tapi membatalkan lebih mudah," katanya.
Pemerintah pada tahun ini menargetkan penarikan pinjaman luar negeri sebesar US$ 3,6 milliar. Pinjaman berasal dari Jepang (JBIC) sebesar US$ 1,45 milliar, Bank Dunia US$ 700 juta, ADB Us$ 270 juta, pinjaman bilateral US$ 500 juta, pinjaman multilateral lain (Islamic development bank dan IFAD) US$ 126 juta, kredit ekspor US$ 490 juta termasuk juga pinjaman program US$ 400 juta.
Pada 2007, pemerintah mencatat ada potensial loan surplus sebesar 29,41% dari rencana penyerapan pinjaman program luar negeri senilai US$ 2,5 milliar. Potensi surplus terbesar untuk proyek health workforce and services Departemen kesehatan, dan proyek pembangunan pembangkit listrik Jawa Bali.
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Azis menilai, Bappenas harus bersikap tegas dengan memberikan sanksi bagi pejabat pembuat komitmen yang mengusulkan pendanaan proyek melalui pinjaman. "Harus ada sanksi buat pejabat pembuat komitmennya," ujarnya.
Menurut Harry, potensi dana pinjaman tak terpakai sebetulnya lebih banyak diakibatkan kesalahan pejabat pembuat komitmen ketimbang mekanisme pencairan pinjamannya. Pejabat pembuat komitmen sering kali tidak memperhitungkan risiko penyerapan pinjaman.
Potensi dana tak terpakai hanya menghasilkan beban bunga utang yang tinggi tanpa sedikitpun memberi dampak positif. Sebab meski tidak digunakan, bunga utang dalam bentuk commitment fee tetap harus dibayarkan pemerintah. "Jadi alternatifnya, segera batalkan pinjaman yang tidak terserap tersebut," tandasnya.