Reporter: Indra Khairuman | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Surplus neraca perdaganan Indonesia diperkirakan akan menurun dari US$ 3,45 miliar pada Januari 2025 menjadi US$ 1,69 miliar pada Februari 2025, penurunan ini dipengaruhi oleh stabilisasi harga komoditas dan perlambatan ekonomi di Tiongkok.
Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, menjelaskan bahwa meskipun neraca perdagangan Indonesia tetap surplus, masih terdapat tantangan yang harus dihadapi.
“Ekspor diproyeksikan melemah karena stabilisasi harga komoditas dan perlambatan ekonomi Tiongkok, yang diperparah oleh ketidakpastian perdagangan global,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (14/3).
Ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh faktor eksternal terhadap kinerja perdagangan Indonesia.
Baca Juga: Perdagangan Surplus, Ekspor Turun 3 Bulan Beruntun
Proyeksi lebih lanjut, ekspor Indonesia pada Februari 2025 diperkirakan akan mengalami kontraksi bulanan sebesar 4,42% month to month (MtM). Namun, pertumbuhan tahunan tetap positif dengan angka 6,39% year on year (YoY) dibandingkan tahun sebelumnya.
“Melemahnya permintaan dari Tiongkok, di mana aktivitas impor turun di tengah melambatnya konsumsi domestik, menjadi salah satu penyebab utama,” kata Josua.
Selain itu, risiko perang dagang dan stabilisasi harga komoditas global juga berkontribusi terhadap penurunan ini.
Di sisi lain, impor diperkirakan akan meningkat seiring dengan pola musiman menjelang bulan Ramadan. Pertumbuhan impor tahunan Indonesia diproyeksikan mencapai 2,01% YoY pada Februari 2025, setelah kontraksi yang terjadi sebesar 2,67% YoY pada Januari 2025.
“Secara bulanan, impor diperkirakan akan meningkat 4,51% MtM,” ucapnya. Ia menekankan bahwa permintaan domestik yang melonjak menjelang Ramadhan menjadi faktor pendorong utama.
Baca Juga: Neraca Dagang Indonesia dengan AS Tercatat Surplus, dengan China Defisit
Namun, tantangan masih ada, terutama terkait dengan defisit neraca transaksi berjalan (CAD) yang diproyeksikan melebar 1,18% dari PDB pada tahun 2025.
“Permintaan domestik yang kuat di tengah agenda pro-pertumbuhan pemerintah akan mendorong aktivitas impor,” tambah Josua.
Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang baru diharapkan bisa mendukung stabilitas rupiah, meski kinerja ekspor akan tetap menghadapi tantangan signifikan.
Dengan meningkatnya ketidakpastian global, Josua menegaskan bahwa risiko melebarnya defisit ransaksi berjalan dapat menghambat aliran modal masuk.
“Hal ini dapat memberikan tekanan pada stabilitas rupiah dan membatasi kemampuan Bank Indonesia untuk melanjutkan penurunan suku bunga acuan di tahun ini,” ucap Josua.
Selanjutnya: Anak Usaha Summarecon Agung (SMRA) Transaksi Afiliasi Perjanjian Pinjaman Rp 3 Miliar
Menarik Dibaca: Promo Superindo Hari Ini 14-16 Maret 2025, Kurma Golden Arabian Diskon 45%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News