Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: A.Herry Prasetyo
JAKARTA. Perhatian para pembuat kebijakan ekonomi dunia sedang tertuju kepada Amerika Serikat (AS). Maklum, pasar tengah menanti pernyataan Gubernur Bank Sentral Amerika Janet Yellen dalam Simposium Ekonomi Tahunan yang diselenggarakan di Jackson Hole, Kansas City.
The Federal Reserve diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan lebih cepat ketimbang perkiraan sebelumnya. Sebab, data ekonomi terbaru AS menunjukkan indikator perekonomian mulai membaik. Jumlah pengangguran, misalnya, melandai dari 7,3% menjadi 6,2%.
Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Asset Manajemen, mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed akan diikuti kenaikan suku bunga negara-negara lainnya. Meski begitu, Lana memperkirakan, arus dana yang keluar dari Indonesia tidak akan besar.
Saat ini, perbedaan antara yield alias imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun AS dan obligasi pemerintah 10 tahun milik Indonesia berada di kisaran 5,7%. Yield obligasi Indonesia 8,2% semeentara yield obligasi AS 2,5%. Menurut Lana, perbedaan tersebut sudah di atas normal. Sebab, biasanya perbedaan imbal hasil antara obligasi Indonesia dengan obligasi AS berada di kisaran 300 basis point (bps) atau 3%.
Karena itu, Lana optimistis, meski The Fed menaikkan suku bunga, dampak terhadap keluarnya arus modal asing dari pasar Indonesia tidak akan besar. "Masih ada ruang untuk kita," kata Lana kepada KONTAN, Jumat (22/8).
Lana memperkirakan, The Fed akan menaikkan suku bunga 100 bps atau 1% pada tahun 2015. Kemudian, The Fed kembali akan mengerek suku bunga acuan 125 bps atau 1,25% pada tahun 2016 kelak.
Meski begitu, Lana mengimbau Bank Indonesia (BI) tidak buru-buru menaikkan suku bunga acuan. BI harus menunggu keputusan The Fed terlebih dahulu. Meski begitu, Lana memperkirakan, suku bunga acuan BI alias BI rate akan kembali naik menjadi kisaran 8%-8,25% pada tahun depan. Selain sebagai langkah antisipasi kenaikan suku bunga The Fed, kenaikan BI rate untuk menjaga inflasi karena sinyal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tahun depan sangat kuat.
Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko, menilai, persoalan kenaikan suku bunga The Fed jangan hanya dilihat sebagai persoalan kebijakan moneter. Pengambil kebijakan juga harus melihat sejauh mana fundamental ekonomi Indonesia masih kuat.
Kondisi fundamental yang kuat bisa dilihat dari kondisi fiskal serta defisit transaksi berjalan. Jika pemerintah baru kelak bisa menaikkan harga BBM sehingga kondisi anggaran negara membaik serta defisit neraca transaksi berjalan mengempis, arus dana asing yang keluar tidak akan besar.
Jika pemerintah berani mengambil risiko menaikkan harga BBM, investor akan melihat adanya perbaikan fundamental sehingga masih akan bertahan dan tidak panik meski The Fed menaikkan suku bunga. "Kalau tidak ada kenaikan BBM, BI rate sangat mungkin naik 50 bps," kata Prasetyantoko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News