Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Bambang Brodjonegoro, menjelaskan, subsidi bahan bakar minyak (BBM) tahun ini bisa melonjak mencapai Rp 203 triliun. Ini bisa terjadi seiring dengan lebarnya selisih antara harga BBM bersubsidi dengan non-subsidi. Selisih harga yang besar bisa memicu konsumsi BBM bersubsidi yang berlebihan.
Bambang menjelaskan, perkembangan volume konsumsi BBM bersubsidi di APBN-P 2011 dan realisasi 2011 terjadi peningkatan yang cukup tajam dari 38,2 juta kiloliter tahun 2010, kemudian realisasi 2011 sudah mencapai 41,8 juta kiloliter.
Saat itu, kata dia, perbedaan harga premium dan pertamax itu kira-kira Rp 3.000-3.500. Premiumnya Rp 4.500 per liter, pertamaxnya Rp 7.500-8.000 per liter. "Hari ini kalau lihat di pompa bensin harga premium Rp 4.500 tapi harga pertamax atau harga super itu sudah Rp 9.000 atau lebih. Sudah dua kali lipat. Dan kalau sudah dua kali lipat orang yang biasanya pakai pertamax pun akan berpikir dua kali dan akan bisa dengan mudah pindah ke premium," ujar Bambang, di DPR, Kamis (22/3/2012) malam.
Ia mengatakan, selisih harga BBM yang besar akan memicu volume penggunaan atau konsumsi BBM bersubsidi yang lebih besar lagi. Dampaknya bukan hanya ke volume tetapi juga besaran subsidi. Bambang menuturkan, subsidi BBM antara APBN dan realisasi yang terjadi selalu lewat. Pemerintah berharap melakukan estimasi pada suatu angka tapi realisasinya selalu terlewat.
Tahun 2010 pada APBN dipatok subsidi BBM sebesar Rp 68,7 triliun kemudian realisasinya ternyata Rp 82,4 triliun. Lalu, tahun 2011 dianggarkan Rp 96 triliun ternyata realisasi Rp 165,2 triliun. "Tahun 2012 ini berdasarkan data yang kami dapatkan dari BPH Migas dan Dirjen Migas kita anggarkan di APBN Rp 123,6 triliun ini bisa lompat. Ternyata dari hitungan terakhir menggunakan ekstrapolasi konsumsi dua bulan pertama Januari-Februari 2012 itu bisa mencapai 47 juta kiloliter atau kalau dirupiahkan mencapai Rp 203 triliun hanya untuk subsidi BBM," ungkap Bambang.
Ia mengatakan, besarnya subsidi BBM ini tidak wajar jika dibandingkan dengan subsidi lainnya seperti untuk kesehatan. Tahun lalu, subsidi kesehatan hanya Rp 43,8 triliun, infrastruktur Rp 125,6 triliun, bantuan sosial Rp 70,9 triliun, sementara subsidi BBM Rp 165,2 triliun. Jika dijumlah dengan subsidi listrik Rp 90 triliun maka APBN yang dialokasikan untuk subsidi energi mencapai Rp 255 triliun.
"Jadi apakah strategi subsidi kita sudah tepat sasaran karena yang disubsidi adalah subsidi harga. (Harga) general yang akan menguntungkan semua orang tidak kepada subsidi yang sifatnya lebih terarah seperti infrastruktur, bansos dan kesehatan," pungkas Bambang. (Ester Meryana, Erlangga Djumena/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News