Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ekonom Universitas Paramadina menilai bahwa struktur Indonesia tidak seimbang memicu berbagai risiko ekonomi, termasuk efek crowding out terhadap sektor riil dan pasar modal.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang pemerintah pada kuartal III-2024 didominasi oleh Surat Berharga Negara SBN), dengan komposisi hampir mencapai 90% dari total utang pemerintah.
"Hampir 90% utang kita itu SBN. Pinjaman hanya 10%. Dulu komposisinya lebih seimbang, sekitar 50-50," ujar Wija dalam Webinar: Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo, Rabu (22/1).
Penerbitan SBN memang dianggap lebih mudah dibandingkan dengan pinjaman, yang memerlukan pengawasan ketat dari donor dan proses birokrasi yang panjang.
Menurutnya lonjakan dominasi SBN selama 10 tahun terakhir disebabkan oleh strategi pemerintah yang mengutamakan kemudahan akses dana melalui pasar obligasi. Namun, untuk menarik minat investor, pemerintah harus menawarkan bunga yang lebih tinggi.
Baca Juga: Kapasitas Berutang Menyusut, Prabowo Hadapi Tantangan Fiskal Cukup Berat
Wija mencatat, 75% SBN dimiliki oleh pihak non-Bank Indonesia, sementara 25% dimiliki oleh BI melalui instrumen seperti Surat Berharga Residen Bank Indonesia (SRBI), yang kini nilainya mencapai Rp 915 triliun dengan bunga 7,23%.
Dominasi SBN dan SRBI di pasar keuangan juga menyebabkan fenomena crowding out, di mana bank dan investor lebih memilih instrumen ini dibandingkan mendukung sektor riil.
Ia menuturkan, bank-bank lebih memilih membeli SBN atau SRBI yang bunganya di atas 7% karena dianggap zero risk, daripada memberikan kredit kepada sektor riil.
Baca Juga: Dukung Program Pemerintah, BI Bakal Borong SBN Lebih Banyak Tahun Ini
"Yang juga mengkhawatirkan bukan saja komposisi asing yang cukup besar, baik di SBN maupun SRBI, tetapi juga komposisi bank yang membeli SBN dan SRBI cukup besar. Crowding out terjadi," katanya.
Fenomena ini tidak hanya menghambat pembiayaan sektor riil, tetapi juga memengaruhi pasar modal. Banyak investor pasar modal dan reksadana kini beralih ke SBN dan SRBI, yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi dengan risiko rendah.
"Ini yang mematikan pasar modal kita. Banyak teman-teman saya yang tadinya investor di pasar modal, kemudian melihat alternatif ini, zero risk, bunganya tinggi, ada insentif pajak, mereka beralih dari pasar modal. Nah ini perkembangannya sangat mengkhawatirkan," pungkasnya.
Selanjutnya: Jasindo Dorong Pengembangan Generasi Muda dan Kesetaraan Gender di Tempat Kerja
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Kebutuhan Dapur 16-31 Januari 2025, Sambal Terasi Sasa Beli 1 Gratis 1
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News