Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
BADUNG. Perekonomian dunia memasuki fase baru. Perekonomian negara maju menguat meski tidak seperti yang diharapkan. Adapun pertumbuhan ekonomi negara berkembang melambat. Menuju keseimbangan baru tersebut, Indonesia harus menyesuaikan diri.
Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati, dalam pidato pada Pertemuan Menteri-menteri Keuangan APEC di Badung, Bali, Jumat (20/9), mengingatkan tentang perekonomian dunia yang memasuki fase baru. Ini ditegaskan kembali pada keterangan pers di sela-sela acara.
”Dalam pertemuan ini (menteri-menteri keuangan Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik/APEC), pesan utamanya adalah soal perkembangan ekonomi dunia yang tentu, antara lain, dilatarbelakangi pernyataan The Federal Reserve yang akan menunda pengetatan stimulus moneter. Perekonomian dunia masuk ke dalam fase baru,” kata Mulyani dalam keterangan pers.
Perekonomian di negara maju, menurut Mulyani, menunjukkan indikasi yang lebih positif meski tidak sepesat yang diharapkan. Perekonomian Amerika Serikat membaik meski masih rapuh.
Eropa sudah berangsur-angsur pulih meskin sedikit negatif pertumbuhannya. Pada semester II-2013, pertumbuhannya diproyeksikan akan positif. Jepang tetap stabil pada angka pertumbuhan 2 persen.
Risiko lebih besar
Sementara itu, negara-negara berkembang, terutama di kawasan Asia Pasifik yang menyumbang 50 persen dari produk domestik bruto dunia, menghadapi risiko lebih besar. Ini terutama berkaitan dengan perubahan kebijakan di level dunia dan tantangan domestik setiap negara.
Ekspor yang berasal dari permintaan negara-ngara maju dan China, Mulyani memperkirakan akan melambat. China sendiri tengah mengubah strategi pertumbuhan ekonominya dari sebelumnya bergantung pada ekspor dan investasi. Ini semua akan memengaruhi perekonomian Indonesia yang struktur ekspornya sangat didominasi komoditas berbasis sumber daya alam.
”Jika kita ingin meningkatkan daya saing sehingga perlu diversifikasi ekspor, berarti kemampuan kita memperluas industri menjadi sangat penting. Ini sangat membutuhkan kebijakan di sektor hulu dankebijakan untuk memfasilitasi infrastruktur termasuk pendanaannya,” kata Mulyani.
Besarnya impor bahan baku yang dilakukan Indonesia, menurut Mulyani, tidak perlu dikhawatirkan karena itu meningkatkan produktivitas. Hal yang harus dicermati adalah impor barang konsumsi.
Sementara itu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di hadapan lebih dari 300 pebisnis Asia dan Eropa dalam Singapore Summit, Sabtu (21/9), di Singapura, menyatakan, saat ini, Indonesia juga harus mempercepat proses industrialisasi yang mendorong tumbuh dan berkembangnya manufaktur.
Acara yang dibuka oleh Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Jumat (20/9) malam, dihadiri sejumlah pengusaha Indonesia antara lain Chairul Tanjung dan Sandiaga Uno.
”Di tengah sorotan korupsi dan penyalahgunaan anggaran, Indonesia juga harus terus meningkatkan tata kelola pemerintahan dengan upaya pemberantasan korupsi yang masif dan terarah,” ujar Kalla.
Menurut Kalla, pemerintah juga harus merealisasikan dan mempercepat pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia.
”Persoalan Indonesia antara lain adalah soal infrastruktur. Indonesia terlambat membangun infrastruktur jalan, pelabuhan, bandar udara, pembangkit listrik, dan lainnya sehingga daya saing Indonesia lemah dibandingkan bangsa lainnya,” kata Kalla. (Kompas.com/Kompas cetak)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News