Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan reformasi perpajakan sangat diperlukan untuk mendukung upaya mewujudkan Indonesia maju. Sebab, pemerintah memiliki cita-cita agar Indonesia menjadi negara high income dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045.
“Di masa bonus demografi menjadi momentum reformasi untuk penguatan fondasi dan daya saing dibutuhkan reformasi struktural yang didukung dengan reformasi fiskal yang berkelanjutan,” ujar Sri Mulyani dalam acara kick off sosialisasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Jumat (19/11).
Namun, Sri Mulyani melanjutkan, di tengah upaya mewujudkan Indonesia maju, pandemi Covid-19 mengguncang perekonomian dan menimbulkan tekanan fiskal yang signifikan. Pada tahun 2020, pertumbuhan ekonomi kontrak 2,07% year on year (yoy), jauh di bawah ekspektasi APBN 5,3% yoy.
Sementara itu, penerimaan pajak melemah hingga hanya mencapai 8,33% di bawah kondisi rata-rata dalam lima tahun terakhir di angka 10,2%, sedangkan defisit dan rasio utang meningkat tajam.
Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi dampak pemulihan perekonomian pasca pandemi yang masih dibayangi ketidakpastian, Menkeu mengatakan reformasi perpajakan yang mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel menjadi semakin diperlukan. Untuk itulah, UU HPP lahir.
Baca Juga: Pemerintah akan terbitkan 43 aturan pelaksana UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
UU HPP sendiri menurut Sri Mulyani adalah suatu bekal untuk meneruskan perjalanan Indonesia maju yang mengalami disrupsi yang luar biasa akibat Covid-19.
Reformasi yang dilakukan pada masa pandemi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian ekonomi global dan diharapkan dapat menjadi instrumen multidimensional objektif, yaitu fungsi penerimaan pajak yang bersamaan dengan pemberian insentif untuk mendukung dunia usaha pulih, namun tidak menjadikan administrasinya semakin sulit.
Di sisi lain, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Dito Ganindu mengungkapkan pandangannya. Menurutnya, UU HPP adalah hasil kolaborasi semua pemangku kepentingan. DPR RI melibatkan setidaknya 80 asosiasi, akademisi, organisasi pendidikan dan kesehatan, Himbara, dan banyak lagi untuk didengarkan pendapatnya.
Setelah UU HPP ini disahkan, DPR RI berkomitmen untuk terus mengawal reformasi yang dilakukan pemerintah dan terus bekerja sama dalam pelaksanaan dan pengawasan UU HPP, sehingga tujuan pembentukan UU untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai.
Senada dengan itu, pada acara yang sama, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, disebabkan perkembangan ekonomi pasca pandemi dan keterbatasan kapasitas administrasi dan kebijakan, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyusun materi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang telah berada di program legislasi nasional (prolegnas) dan merupakan bagian dari tahapan reformasi kebijakan fiskal DJP.
Kata Suryo, tidak hanya berisi ketentuan formal tetapi juga ketentuan material, seperti pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, pajak karbon, dan program peningkatan kepatuhan wajib pajak.
Baca Juga: Antisipasi lonjakan kasus Covid-19 jelang Nataru, pemerintah percepat vaksinasi
Pada akhirnya, RUU KUP tersebut disetujui dengan nama RUU HPP dengan beberapa perubahan yang didasarkan pada masukan dari para pemangku kepentingan, seperti perubahan pada ketentuan PPh, PPN, serta mengubah Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak menjadi Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Suryo juga mengungkapkan bahwa setelah pengesahan UU HPP tanggal 29 Oktober lalu, direncanakan akan ada 43 aturan pelaksana UU HPP, 8 dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan 35 dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Oleh sebab itu, pemerintah sangat mengharapkan masukan dari para pemangku kepentingan dalam penyusunan aturan pelaksana tersebut.
Lebih lanjut, menurut Suryo, walaupun UU HPP telah selesai dan nanti aturan pelaksana sudah siap, tanpa sosialisasi yang kuat dikhawatirkan implementasinya tidak maksimal.
Oleh sebab itu, DJP berencana melakukan rangkaian kegiatan sosialisasi, termasuk acara kick off sosialisasi yang dilakukan pada tanggal 19 November 2021 ini. Setelahnya, DJP akan melanjutkan roadshow sosialisasi UU HPP, khususnya PPS yang jangka waktunya hanya enam bulan sejak 1 Januari 2022, di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Medan, Jakarta, Bandung, dan Balikpapan.
Optimalisasi media sosial dan media massa dilakukan melalui talkshow, media briefing, dan media gathering. Para Fungsional Penyuluh Pajak di masing-masing unit vertikal DJP dikerahkan untuk menyosialisasikan UU HPP di wilayah kerja masing-masing. Selain itu, dilakukan juga dialog serap aspirasi kepada asosiasi-asosiasi di Indonesia.
“Sosialisasi kepada para pengusaha asosiasi juga dilakukan sembari menyerap aspirasi untuk penyusunan aturan pelaksanaan dari UU HPP,” tutup Suryo.
Selanjutnya: Askrindo jalin kerjasama dengan Biofarma dalam pengiriman vaksin Covid-19
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News