Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa enggan berkomentar banyak mengenai kebijakan Pemerintah Singapura. Negeri itu melarang KRI Usman Harun masuk ke teritorial perairannya.
"Sudah, sudah, saya enggak ada tanggapan apa-apa. Kan masalahnya sudah di belakang semua," kata Marty di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/2).
Marty mengatakan KRI tersebut masih berada di Inggris. Ia pun belum mendengar adanya peringatan dari Singapura mengenai KRI Usman-Harun. "Warning apa, saya enggak merasakan sebagai warning kok. Ambil kebijakan, kebijakan apa. Lebih dari itu, nanti pada waktunya kita lihat, pas barangnya datang itu," katanya.
Marty mengungkapkan pihaknya sudah lama menerima nota keprihatinan mengenai penamaan kapal perang Indonesia. "Iya ada nota begitu ada, nota dari Singapura yang menyampaikan keprihatinan, betul ada. Saya juga menyampaikan ke mereka, ya ini sudah tidak ada," katanya.
Menurut Marty yang terjadi saat ini timbul masalah karena adanya perbedaan persepsi. Namun, Indonesia tetap menjalin hubungan dengan Singapura.
"Karena antara Indonesia dengan Singapura sesama negara tetangga, sesama anggota negara ASEAN, kepentingannya juga selaras. Kali ini kebetulan ada perbedaan pandangan, kenapa kita tidak menerima saja bahwa ada perbedaan pandangan. Bukan berarti kita sekarang harus ada proses, atau tingkat perseteruannya semakin meruncing, tidak perlu. Sekarang memang ada perbedaan pendapat," ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan, keputusan Indonesia menamakan kapal perang baru KRI Usman Harun, setelah beberapa dekade lalu Indonesia melakukan sabotase di Singapura dengan pengeboman McDonald pada 1965, memasuki babak baru hubungan kedua negara.
Pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan untuk melarang KRI Usman Harun yang memiliki panjang 90 meter itu masuk ke teritorial perairannya. Mereka beralasan, penamaan Usman Harun pada KRI itu akan membuka luka lama dari keluarga korban.
The Straits Times, Sabtu (8/2) melansir, jika pemerintah Singapura mengizinkan KRI Usman Harun melintasi perairan, maka dikhawatirkan akan mengubah pandangan mengenai kampanye anti-terorisme.
Pemerintah Singapura juga mempermasalahkan dua orang Marinir Indonesia yang melakukan pengeboman di dalam kota Singapura pada 1965 itu justru dianggap sebagai pahlawan.
Menurut mereka, bila dilihat dengan cara pandang masa kini, maka kedua prajurit itu telah melakukan tindakan teror terhadap warga sipil Singapura. Di sisi lain, mereka menyadari, kedua prajurit tersebut hanya menjalankan perintah menjalankan misi negara. (Ferdinand Waskita)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News