kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Sertifikasi produk halal tetap otoritas ulama


Rabu, 05 Desember 2012 / 07:37 WIB
Sertifikasi produk halal tetap otoritas ulama
ILUSTRASI. Kedoya Adyaraya akan meraup dana IPO hingga Rp 319,81 miliar.


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Dalam pembahasan Rancangan Undang Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akhirnya menyepakati sertifikasi halal dan proses audit dari hulu sampai hilir tetap menjadi otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Meski begitu, RUU JPH batal ditetapkan pada masa sidang akhir tahun ini. Ida Fauziyah, Ketua Komisi VIII DPR mengatakan, target pengesahan RUU JPH diundur sampai masa sidang selanjutnya yang berakhir pada April 2013. "Masih ada dua poin yang belum disepakati yakni bentuk kelembagaan dan sifat penerapan sertifikasi halal," katanya, Selasa (4/12).

Asal tahu saja, pembahasan RUU JPH sudah berlangsung selama tiga tahun. Pengesahan beleid ini sangat mendesak untuk memberikan jaminan produk halal, bermutu, dan aman terhadap kesehatan.

Menurut Ida, pemerintah dan DPR sudah setuju MUI masih berwenang melakukan audit produk halal dan mengeluarkan sertifikat halal. "Jadi peran MUI tidak berubah, masih sama seperti sekarang," ujarnya. Kelak, MUI menjadi bagian dari badan atau lembaga penjamin produk halal.

Namun, bentuk lembaga sertifikasi ini belum diputuskan karena masih ada beberapa opsi. Pertama, berupa lembaga pemerintah non-kementerian dan mempunyai perwakilan di daerah. Kedua, berbentuk unit kerja di bawah Kementerian Agama. Ketiga, bersifat independen dan tidak memiliki hubungan dengan instansi pemerintah dan bertanggung jawab ke presiden.

Masalah sifat pemberlakuan sertifikasi halal ini sukarela (voluntary) atau wajib (mandatory) juga belum berhasil dipecahkan. DPR menginginkan sifatnya wajib, sedangkan pemerintah sebaliknya. "DPR mengusulkan pemberlakuan kewajiban penerapan sertifikat halal setelah lima tahun sejak aturan itu diterbitkan," ungkap Ida. Sehingga, selama waktu transisi tersebut, sifatnya masih sukarela dan setiap perusahaan diberikan waktu untuk mempersiapkannya.

MUI memang sudah sewajarnya memegang peran kunci dalam sertifikasi halal dan proses audit dari hulu sampai hilir. "MUI tidak bisa hanya disuruh mengecap produk halal saja," tegas Amidhan, Ketua MUI.

Sebab, MUI berpengalaman selama 23 tahun dan memiliki perwakilan lembaga di hampir seluruh provinsi serta 23 negara di dunia. Proses penetapan sertifikasi halal oleh MUI, Amidhan bilang, harus mulai dari pemeriksaan, laporan audit, rapat komisi fatwa, dan keluarnya sertifikat halal. "Penetapan produk halal bukan persoalan biasa, karena menyangkut implementasi norma agama," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×