Sumber: Antara | Editor: Uji Agung Santosa
SURABAYA. Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia (SPPI) menolak tujuh regulasi sektor kepelabuhanan tahun 2015 karena mengancam eksistensi Pelabuhan Indonesia (Pelindo) sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang Jasa Kepelabuhanan.
"Untuk itu, SPPI berencana meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (MA) terkait hal ini. Kami berharap peraturan pemerintah dan peraturan menteri perhubungan direvisi," kata Ketua Umum SPPI, Dhany R Agustian, di Surabaya, Senin.
Menurut dia, regulasi sektor kepelabuhanan tahun 2015 tersebut yakni PM No 60 Tahun 2014 Jo PM 53 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan dan pengusahaan bongkar/muat dari dan ke kapal. Dalam permen ini yang menjadi catatan SPPI adalah pemisahan izin perusahaan bongkar muat (PBM) dan izin badan usaha pelabuhan (BUP). PBM dilaksanakan badan usaha khusus.
"Lalu, PM 11 No 11 Tahun 2015 tentang penerimaan negera bukan pajak (PNPB) Jo PP No 69 Tahun 2015. Dalam aturan ini terdapat empat hal yang menjadi perhatian yakni penambahan objek PNPB, pemisahan wilayah PNPB pelabuhan komersial dan non komersial, penyetoran langsung, dan tidak mengatur satuan mata uang," ujarnya.
Kemudian, jelas dia, PM 23 Tahun 2015 tentang peningkatan fungsi penyelenggaraan pelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan. Tiga isu yang berdampak pada proses bisnis perseroan yakni pengawasan aset dan pemanfaatan lahan oleh otoritas pelabuhan (OP), OP sebagai pelaksana keamanan dan ketertiban, serta pengawasan tarif dan jaminan arus barang.
"Regulasi lainnya, PM 51 Tahun 2015 tentang penyelenggara pelabuhan laut. Pada permen ini, SPPI menyikapi tentang izin BUP dibatasi lima tahun, pembangunan, pengembangan dan pengoperasian pelabuhan oleh OP/KSOP dan KUPP serta, eksistensi BUMN dalam bentuk konsesi dan audit aset," katanya.
Selain itu, tambah dia, PM 15 Tahun 2015 tentang konsesi dan bentuk kerja sama lainnya antara pemerintah dan BUP (badan usaha pelabuhan). BUP eksisting penugasan melalui konsesi, peralihan aset di akhir konsesi, besaran konsesi minimal 2,5 persen dan hak pengelola lahan (HPL) atas nama OP.
"Ada pula PM 45 Tahun 2015 tentang persyaratan kepemilikan modal BUP di bidang transportasi. Perhatian SPSI terhadap persyaratan modal BUP Rp3 triliun untuk pelabuhan kelas utama, Rp200 miliar untuk pelabuhan pengmupul, dan Rp25 miliar untuk pelabuhan pengumpul," katanya.
Lalu, sebut dia, PM 57 Tahun 2015 tentang penundaan dan pemanduan. Permen ini menyatakan, penyedia jasa pemanduan dan penundaan adalah OP/KUPP. Pemanduan dan penundaan bisa dilaksanakan oleh BUK.
"Seluruh regulasi sektor kepelabuhanan tahun ini, praktis bertolak belakang dengan keberadaan UU No 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, khususnya pasal 344 ayat 1 , 2 dan 3 yang mempertahankan eksistensi badan usaha milik negara (BUMN)," katanya.
Ia melanjutkan, regulasi itu menunjukkan keberadaan OP kini lebih terlihat dominan pada kekuatan otoritas secara komersial dibandingkan kekuatan kewenangan birokrasinya. SPPI juga sepakat menolak pemberlakukan untuk menyetor PNBP sebesar lima persen.
"Apa pun yang terjadi Pelindo I hingga Pelindo IV tetap menyetorkan 1,75 persen," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News