kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Sengketa pajak Toyota Motor menanti palu hakim


Selasa, 26 Maret 2013 / 18:05 WIB
Sengketa pajak Toyota Motor menanti palu hakim
ILUSTRASI. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.


Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris

JAKARTA. Sidang sengketa pajak antara PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) dengan Direktor Jenderal (Ditjen) Pajak berakhir Senin sore kemarin (25/3). Majelis hakim yang diketuai Sukma Alam itu menutup sidang kedua belas kali sejak tahun lalu. Sengketa pajak dengan perusahaan otomotif asal Jepang itu melibatkan nilai pajak yang besar dan prosesnya cukup alot. Dalam sidang terakhir yang sebenarnya dimaksudkan forum penutup bagi kedua pihak, malah terjadi debat sengit kedua belah pihak untuk menarik perhatian majelis hakim.

Sengketa dengan TMMIN ini terjadi karena koreksi yang dilakukan oleh Ditjen Pajak terhadap nilai penjualan dan pembayaran royalti TMMIN. Sengketa ini seputar laporan pajak tahun 2008. Saat itu, pemegang saham TMMIN ialah Toyota Motor Corporation sebesar 95% dan sisanya 5% dimiliki PT. Astra International Tbk.

Dalam laporan pajaknya, TMMIN menyatakan nilai penjualan mencapai Rp 32,9 triliun, namun Ditjen Pajak mengoreksi nilainya menjadi Rp 34,5 triliun atau ada koreksi sebesar Rp 1,5 triliun. Dengan nilai koreksi sebesar Rp 1,5 triliun, TMMIN harus menambah pembayaran pajak sebesar  Rp 500 miliar.

Mengapa Ditjen Pajak mencurigai laporan pajak TMMIN? Menurut Muhammad Amin, aparat pajak yang mewakili Ditjen Pajak di pengadilan pajak, Ditjen Pajak mengoreksi hitungan bisnis TMMIN setelah membandingkan bisnis TMMIN sebelum 2003 dengan sesudah 2003.

Sebelum 2003, perakitan mobil (manufacturing) Toyota Astra masih digabung dengan bagian distribusi di bawah bendera Toyota Astra Motor (TAM). Namun sesudah 2003, bagian perakitan dipisah dengan bendera TMMIN sedangkan bagian distribusi dan pemasaran di bawah bendera TAM. Mobil-mobil yang diproduksi oleh TMMIN dijual dulu ke TAM, lalu dari TAM dijual ke Auto 2000. Dari Auto 2000, mobil-mobil itu dijual ke konsumen. 

Sebelum dipisah, margin laba sebelum pajak (gross margin) TAM mengalami peningkatan 11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dipisah, gross margin TMMIN hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun. Sedangkan di TAM, gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin TAM digabung dengan TMMIN, prosentasenya masih sebesar 7%. Artinya lebih rendah 7% dibandingkan saat masih bergabung  yang mencapai 14%. “Kemana larinya 7%?,” begitu tanya Muhammad Amin, aparat pajak yang mewakili Ditjen Pajak di pengadilan pajak, Senin (26/3).

Aparat pajak menduga, laba sebelum pajak TMMIN berkurang setelah 2003 karena pembayaran royalti dan pembelian bahan baku yang tidak wajar.  Penyebab lainnya penjualan mobil kepada pihak terafiliasi seperti TAM (Indonesia) dan TMAP (Singapura) di bawah harga pokok produksi sehingga mengurangi peredaran usaha.

Dalam pemeriksaan itu, aparat Ditjen Pajak menyoroti penjualan mobil Toyota Fortuner, Kijang Innova, dan Toyota Dyna. Pada 2008, Fortuner type G dijual ke TAM sebesar Rp 166 juta per unit atau 4% dibawah harga pokok produksi. Sedangkan dari TAM ke Auto 2000 sebesar Rp 252 juta atau dengan margin keuntungan 50%. Harga ini belum merupakan harga yang berlaku kepada konsumen.

Begitupula dengan produk Kijang Innova G matic dijual dari TMMIN ke TAM Rp 108 juta atau 4%-5% dibawah harga pokok,s edangkan TAM menjual ke Auto 2000 Rp 141 juta atau memiliki margin 30%. “Harga juga yang rendah dari TMMIN ini mengurangi penerimaan negara melalui Pajak Penjualan atas Barang Mewah,” tutur Amin.

Menurut Edward Hamonangan Sianipar, aparat pajak, pemisahan kedua perusahaan ini seharusnya tidak berdampak pada berkurangnya keuntungan kotor (gross margin) maupun nett margin. Seharusnya saling menguntungkan. “Yang terjadi, TMMIN dibebani rugi sedangkan TAM untung besar, kami berkesimpulan terjadi transfer pricing yang tidak wajar,” kata Edward, di pengadilan pajak.

Sebagai jurus pamungkas, di sidang kemarin, parat pajak menyerahkan satu perusahaan pembanding yang sama persis dengan TMMIN. Pada tahun yang sama, perusahaan yang namanya dirahasiakan itu mengalami laba 7,14% pada 2008 atau 10 kali lebih besar dari laba TMMIN.

Dan jika dilihat kinerja laba tahun 2004-2010, kinerja laba TMMIN pun masih jauh lebih kecil dari competitor tersebut, dimana TMMIN hanya dapat mencapai laba 2,09% sementara kompetitornya 10,28%. “Jika kami buka identitas perusahaan itu kami melanggar rahasia jabatan, kami akhirnya mengeluarkan satu data perbandingan ini, namun hanya untuk majelis hakim,” kata Edward.

Konsultan pajak TMMIN berusaha memberikan penjelasan di sidang. Penurunan peredaran usaha TMMIN pada 2008 terjadi karena adanya kenaikan biaya akibat penambahan produksi yang besar. Penurunan dari sisi harga jual terjadi karena ada kebijakan untuk meningkatkan volume penjualan dengan menahan kenaikan harga jual. “Saat itu Nissan Livina naik menjadi Rp 150 juta, sedangkan harga jual dari TMMIN ditahan agar volumenya besar,” kata Rusmini, konsultan pajak TMMIN dari kantor RSA Consult.

Konsultan Pajak TMMIN menambahkan penilaian Ditjen Pajak terhadap usaha bukan hanya dari nilai penjualan unit mobil atau invoice tetapi melihat seluruh biaya, termasuk pembayaran PPnBM dari TMMIN. “Itu biaya yang harus dilihat juga sehingga mempengaruhi laba,” kata Rusmini.
Catatan lainnya adalah perusahaan yang menjadi perbandingan aparat pajak berstutus merugi. Yakni Hindustan Motor, Force Motor, Shenyang Jinbei, Dongan Heibao, dan Yulon Motor Company.  Sedangkan TMMIN pada 2008 masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan.

Setelah sidang ini ditutup kemarin, keputusan atas sengketa ini kini berada di tangan majelis hakim pengadilan pajak. Selain Sukma Alam, dua anggota majelis hakim lainnya ialah Seno SB Hendra dan Krosbin Siahaan. Ironisnya, meski sidang telah usai, namun kasus ini belum ada kejelasan kapan akan diputus. Sekadar informasi, sengketa pajak antara Ditjen Pajak dengan produsen mobil asal Jepang ini juga terjadi untuk tahun pajak 2005 dan 2007 hingga kini belum juga diputus, walaupun sidangnya telah lama berakhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×