Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang tahun ini, volatilitas nilai tukar rupiah amat tinggi. Kombinasi ketidakpastian kondisi global dan perekonomian domestik, khususnya pelebaran defisit transaksi berjalan (CAD), membuat kurs rupiah sempoyongan. Tak hanya itu, nilai tukar rupiah juga melenceng jauh dari asumsi yang dirancang pemerintah dalam APBM 2018.
Awal tahun, nilai tukar rupiah di pasar spot sempat menyentuh level terkuat yakni Rp 13.289 per dollar Amerika Serikat (AS). Seiring dengan memanasnya perang dagang antara AS dan China di pertengahan Februari, nilai tukar rupiah pun tertekan.
Awal Mei, kurs rupiah tembus Rp 14.000 per dollar AS. Sejak itu, mata uang Garuda pun terus melemah sampai menyentuh level Rp 15.235 per dollar AS pada pertengahan Oktober.
Tekanan makin tinggi lantaran sentimen negatif domestik, yaitu CAD makin melebar hingga US$ 8,8 miliar atau setara 3,37% dari produk domestik bruto (PDB).
Tambah lagi, bank sentral AS alias The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan secara agresif hingga 75 basis poin hingga September, yang kemudian ditutup dengan kenaikan suku bunga terakhir untuk tahun ini sebesar 25 bps lagi pada Desember.
Untungnya, tenaga rupiah kembali pulih memasuki November seiring dengan sejumlah langkah kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dan kebijakan fiskal oleh pemerintah untuk menstabilisasi kurs. Aliran modal asing pun kembali masuk dan membawa rupiah menguat di kisaran Rp 14.500 - Rp 14.700 per dollar AS hingga hari ini.
Jika dirata-rata berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kurs rupiah sepanjang tahun ini senilai Rp 14.246 per dollar AS.
Sementara, pemerintah menetapkan asumsi rata-rata kurs rupiah dalam APBN 2018 sebesar Rp 13.400 per dollar AS. Artinya, ada selisih Rp 846 yang berpotensi mempengaruhi kinerja APBN 2018.
Sebab, mengacu pada analisis sensitivitas Nota Keuangan APBN 2018, setiap nilai tukar rupiah melemah Rp 100 per dollar AS, maka pendapatan negara bertambah Rp 3,8 triliun-Rp 5,1 triliun. Sementara, belanja negara berpotensi bertambah Rp 2,2 triliun-Rp 3,4 triliun.
Hitungan Kontan.co.id, dengan selisih rata-rata kurs rupiah saat ini dengan asumsi APBN, pendapatan negara berpotensi bertambah Rp 32,15 triliun-Rp 43,15 triliun. Adapun belanja negara bisa bertambah Rp 18,61 triliun-Rp 28,76 triliun.
"Itu sebabnya Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyatakan bahwa penerimaan negara di akhir tahun akan sesuai bahkan melampaui target," ujar Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal, Rabu (26/12).
Faisal menilai, selisih kurs rupiah tersebut akan mengerek penerimaan negara, khususnya penerimaan perpajakan yang berkaitan dengan aktivitas antar negara. Misalnya pajak impor, bea masuk, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terkait perdagangan migas.
"Walaupun untuk pos penerimaan dalam negeri seperti PPh dan PPN pertumbuhannya relatif flat. Jadi, faktor windfall pendapatan APBN itu utamanya karena pelemahan nilai tukar dan faktor kenaikan harga minyak," kata Faisal.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede sepakat, penguatan harga minyak di tahun ini turut menguntungkan anggaran pemerintah. Meski tren tersebut mulai pudar di pengujung tahun ini dan berpotensi berlanjut hingga tahun depan.
"Harga minyak Brent dan WTI sudah di bawah US$ 50 per barel. Ini akan menjadi salah satu risiko APBN tahun depan, menarik ke bawah realisasi penerimaan negara sehingga tidak sebesar tahun ini," ujar Josua.
Sementara dari segi belanja, selisih kurs juga akan ikut mendorong realisasinya. Namun, Faisal menilai pertumbuhan belanja pemerintah tahun ini masih didominasi oleh belanja sosial terutama untuk bantuan sosial, serta pembayaran bunga utang yang cukup besar.
"Belanja modal yang berpengaruh banyak ke pertumbuhan ekonomi masih terbilang rendah," tukas Faisal. Per akhir November, serapan belanja modal pemerintah baru mencapai 62,9% dari target APBN.
Hingga akhir tahun, Faisal memproyeksi pergerakan rupiah masih berada di kisaran Rp 14.500-Rp 14.700 per dollar AS. Rentang ini tak berbeda jauh dengan posisi rupiah belakangan yang berarti rupiah masih cenderung stabil hingga akhir 2018.
Analis Pasar Uang Bank Mandiri Reny Eka Putri menaksir, kurs rupiah akan ditutup pada level Rp 14.635 per dollar AS akhir tahun. "Kalau secara rata-rata, kurs rupiah sekitar Rp 14.300 karena di awal tahun rupiah masih sempat di level Rp 13.000-an," kata Reny.
Reny menilai, sentimen eksternal maupun domestik yang menyelimuti rupiah menjelang penutup tahun semakin minim. Lantas, pergerakan rupiah ditaksir tak akan signifikan seiring dengan volume transaksi yang semakin berkurang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News