Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Chief Risk officer lembaga Penelitian investasi/ Indonesia investment Authority (INA) Marita Alisjahbana mengatakan, sejauh ini terdapat beberapa pembahasan dan obrolan sumber investasi yang bekerjasama dengan INA.
Marita memaparkan diantaranya, dari hubungan government to government (G2G) yang berkomitmen melakukan investasi seperti Uni Emirat Arab (UAE) sebesar US$ 10 miliar, dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebesar US$ 4 miliar, dan US International Development Finance Corporation (IDFC) sebanyak US$ 2 miliar. Selain itu, ada juga investor global dan korporasi.
Terdapat juga sektor-sektor yang sedang dikerjakan oleh INA diantaranya infrastruktur. Saat ini, di infrastruktur yang sudah cukup jauh perjalanannya adalah jalan tol, bandara, seaparts, dan water treatment. Selain itu, ada juga digital infrastruktur, supply chain dan logistik, healthcare services, green investing, energy, power dan biotricity, consumer and tecn, dan tourism.
“Prinsip dasar INA adalah untuk mengajak investor luar agar mau berinvestasi ke dalam asset-aset yang ada termasuk aset infrastruktur. Paling penting adalah prinsip-prinsip dasar yang akan terjadi antara INA, penjual dan investor. Selain itu, investor yang akan diajak oleh INA akan berkepanjangan atau untuk jangka panjang,” kata Marita dalam diskusi virtual, seperti dikutip Kamis (22/7).
Baca Juga: Begini progres rencana divestasi ruas tol Jasa Marga ke INA
Prinsip-prinsip tersebut kata Marita adalah, pertama willing buyer and willing seller yaitu kedua belah pihak antara INA, investor, maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait perlu menyetujui syarat dan ketentuan, serta nilai transaksi dan tidak ada paksaan untuk melakukan transaksi tersebut.
Kedua, komersial, yaitu baik pembeli maupun penjual tetap melandaskan keputusan pada penilaian harga pasar wajar yang didukung oleh penilaian independen dan atau pertimbangan komersial sesuai dengan kondisi perusahaan.
Ketiga, strategic alignment yaitu kesesuaian keputusan transaksi baik dari INA maupun penjual (BUMN terkait) dan investor dengan pertimbangan strategis masing-masing seperti transaksi nilai buku untuk menurunkan tekanan kas, termasuk kesesuaian dari strategi partner yang berafiliasi dengan INA.
Keempat, fairnees, yaitu semua pihak tidak menggunakan hal preferensi untuk memperoleh informasi dan atau keunggulan lain yang tidak adil.
Baca Juga: Sejumlah emiten BUMN karya akan divestasi aset, begini progresnya
Kelima, tatakelola, yaitu seluruh proses investasi dari due dilgance, penjualan, negosiasi, legal, dan lainnya harus mengikuti tata kelola best internasional practices dan sesuai dengan tatakelola di masing-masing institusi yang berlaku. Seperti, persetujuan Komite investasi untuk INA, persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) apabila diperlukan oleh BUMN dan lainnya.
“Tatakelola ini sangat penting, sebab semua aset yang akan dijual oleh INA atau semua asset dimana Foreign Direct Investment (FDI) masuk, ini diharapkan akan untuk jangka panjang, sehingga jika asset itu bagus akan lebih banyak investor yang masuk. Selain itu semain bagus nama asset-aset ini maka nama INA semakin mudah menarik investasi,” pungkas Marita.
Selanjutnya: Pengamat menilai IPO anak usaha BUMN idealnya dilakukan pada awal tahun 2022
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News