kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Sejarah baru KPK 2012 ditorehkan Abraham Samad Cs


Jumat, 28 Desember 2012 / 10:26 WIB
Sejarah baru KPK 2012 ditorehkan Abraham Samad Cs
ILUSTRASI. Dana sosial hal yang penting, tetapi jangan sampai alokasinya mengganggu keuangan kit. KONTAN/Muradi/2017/05/03


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. “Perang melawan koruptor itu ibarat lari marathon. Jaraknya ratusan kilo meter dan harus ada strategi,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi, pertengahan September lalu.

Saat itu, Johan ditanya mengenai muara sejumlah kasus besar yang tengah ditangani KPK seperti kasus bailout Century dan dugaan korupsi proyek Hambalang. Pengusutan kedua kasus itu sedang giat-giatnya. Publik menagih janji pimpinan KPK Jilid III untuk menuntaskan dua kasus besar tersebut sebelum 2012 berakhir.

Menurut Johan, perjuangan KPK tidak mudah. Terbentang jalan panjang yang harus dilalui KPK untuk sampai pada muara penuntasan kasus. Meski demikian, katanya, tidak peduli siapa pun yang terlibat, sepanjang ada dua alat bukti yang dimiliki, KPK pasti akan menjerat mereka.

Dengan berjalannya waktu, Pimpinan KPK Jilid III pun membuktikan janji mereka. Abaraham Samad, Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Zulkarnain dan Adnan Pandupraja berhasil mencetak sejarah baru pemberantasan korupsi sepanjang tahun ini.

Cetak sejarah

Dalam kasus Hambalang, KPK menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng serbagai tersangka pada awal Desember ini. Andi menyusul tersangka sebelumnya, Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar yang juga diduga menyalahgunakan kewenangan terkait pengadaan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor Jawa Barat.

Bagaikan kado akhir tahun, KPK mengukir sejarah. Ini adalah pertama kalinya KPK menjerat seorang menteri aktif. Selama hampir sembilan tahun berdiri, baru kali ini KPK menetapkan menteri aktif sebagai tersangka. Langkah ini seolah menjatuhkan stigma yang menilai KPK hanya mampu menjerat seorang menteri saat sudah pensiun.

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menilai, langkah KPK ini patut diapresiasi. Keberanian KPK seharusnya menjadi teladan bagi lembaga penegakkan hukum lain untuk berani menjerat pejabat aktif, sekalipun itu seorang pembantu presiden.

Dia juga mengingatkan agar KPK tidak berhenti pada penetapan Andi sebagai tersangka. Emerson meminta Abraham Samad Cs berani mengusut tuntas kasus Hambalang hingga menjerat pihak lain yang juga diduga terlibat.

Prestasi KPK Jilid III tidak hanya di situ. Dalam setahun kepemimpinannya ini, KPK Jilid III berhasil mencetak sejarah dengan menjerat seorang jenderal polisi aktif. Adalah Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi proyek simulator berkendaraan surat izin mengemudi (SIM). Djoko menjadi jenderal polisi pertama yang ditetapkan sebagai tersangka KPK.

Dalam kasus ini, KPK bahkan menjerat dua jenderal sekaligus. Menyusul kemudian, mantan wakil Kepala Korlantas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo yang juga menjadi tersangka kasus simulator SIM. Keduanya dijerat saat masih menempati struktur kepemimpinan di Polri. Berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) tertanggal 28 Juli 2012, Djoko masih menjadi Gubernur Akademi Kepolisian sedangkan Didik saat itu menjabat Waka Korlantas Polri.

Mereka diduga bersama-sama dengan pihak swasta, yakni Sukotjo S Bambang dan Budi Susanto, melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain namun justru merugikan keuangan negara. Diduga, timbul kerugian negara sekitar Rp 100 miliar dari pengadaan proyek simulator SIM roda dua dan roda tiga tersebut.

Terkait kasus ini, Emerson meminta KPK tidak berhenti pada Djoko dan Didik. Lembaga antikorupsi itu sedianya menjadikan kasus ini sebagai pintu masuk untuk menjerat jenderal-jenderal lain.

Selain kemajuan dalam kasus Hambalang dan simulator SIM, KPK Jilid III berhasil meningkatkan penanganan kasus Century ke tahap penyidikan. Di penghujung tahun ini, KPK menjadikan dua pejabat Bank Indonesia sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Pengusutan bailout Century dimulai sejak 2009. Sepanjang perjalanan, proses politik mewarnai penyelidikan Century di KPK.

Terobosan TPPU

Selain mencetak sejarah dengan menetapkan menteri dan jenderal Polisi aktif, pimpinan KPK Jilid III mulai menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam membawa seorang tersanga korupsi ke pangadilan. TPPU pertamakali diterapkan KPK dalam kasus dugaan penerimaan suap pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang  melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Wa Ode Nurhayati.

Selain didakwa menerima suap, Wa Ode didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang atas kepemilikian Rp 50,5 miliar dalam rekeningnya. Berkali-kali Wa Ode menyebut dirinya sebagai kelinci percobaan KPK dalam penggunaan TPPU.

Jika memang demikian, percobaan KPK ini dapat dibilang berhasil. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Wa Ode terbukti melakukan TPPU dan memvonisnya dengan pidana enam tahun penjara.

Johan Budi saat itu mengatakan, penerapan TPPU ini merupakan terobosan yang dilakukan KPK. Ke depannya, kata Johan, KPK akan kembali menerapkan TPPU dalam kasus-kasus lain sepanjang didukung dua alat bukti yang cukup.

“Tuntutan ini adalah terobosan kita menggunakan dua pasal, pasal tipikor dan TPPU. Ini pertama kali digunakan oleh KPK," kata Johan (2/10).

Selain dalam kasus Wa Ode, KPK menggunakan TPPU untuk menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Penyidikan TPPU Nazaruddin dibuat terpisah dengan kasus suap wisma atlet SEA Games. Nazaruddin diduga melakukan tindak pidana pencucian uang terkait pembelian saham perdana (IPO) PT Garuda Indonesia senilai Rp 300,8 miliar. Uang yang digunakan untuk membeli saham itu diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Saat ini, kasus TPPU Nazaruddin masih dalam tahap penyidikan di KPK sehingga belum diproses dalam persidangan.

Terkait penggunaan TPPU, pakar pencucian uang Yenti Garnasih menilai KPK belum maksimal. Sedianya TPPU diterapkan sejak dua tahun lalu, setelah undang-udang memperbolehkan KPK menggunakan pasal tersebut.

“Sangat minimal dan sangat mengecewakan. KPK mempunyai kewenangan gunakan TPPU sejak dua tahun yang lalu, tapi ternyata kan baru satu kasus yang menggunakan TPPU. Itupun Wa Ode, kurang bagus karena didorong kegeraman anggota DPR karena dia membuka korupsi di Banggar. Mungkin kalau enggak ada itu, KPK belum menggunakan,” kata Yenti.

Menurut Yenti, KPK masih ketinggalan dibandingkan Kepolisian yang sudah menggunakan TPPU sejak 2003-2004. Dia pun mengatakan kalau perspektif KPK masih konvensional dengan menunggu ada tidaknya alat bukti terlebih dahulu. Yenti mengatakan, sedianya KPK dapat menjerat semua tersangka kasus korupsi dengan TPPU. Mereka yang melakukan korupsi, katanya, cenderung menyembunyikan harta hasil kejahatannya, kecuali mereka yang tertangkap tangan.

Menurut Yenti,  ini hanya masalah kemauan KPK. Tidak ada alasan bagi KPK untuk melupakan TPPU padahal mereka bisa menggunakan pasal tersebut untuk memaksimalkan perampasan aset koruptor. Dengan TPPU, katanya, KPK juga bisa menjerat pihak-pihak yang menerima aliran dana hasil tindak pidana korupsi. “Ketika KPK  enggak mau gunakan pencucian uang, dapat berakibat pada uang rakyat  yang sulit kembali,” ujar Yenti.

Pemiskinan koruptor

Sesuai dengan upaya menciptakan efek jera, KPK memaksimalkan perampasan harta para pelaku tindak pidana korupsi. Dalam mendakwa seseorang di persidangan, jaksa KPK mencantumkan pidana tambahan berupa penggantian uang kerugian negara dengan menyertakan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur soal pidana tambahan berupa penggantian uang kerugian negara. Perampasan barang bergerak atau tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Contoh kasus yang menggunakan pasal ini adalah dakwaan Angelina Sondakh dan hakim Syarifuddin.

Angelina atau Angie didakwa menerima suap dari Grup Permai senilai Rp 12,58 miliar dan US$ 2.350.000 sebagai imbalan atas upaya penggiringan proyek di Kementrian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan Nasional. Selain pidana penjara, jaksa KPK menuntut Angie membayar kerugian negara senilai uang yang dikorupsinya. Menurut jaksa, Angie patut mengganti kerugian negara karena uang miliaran rupiah dan dollar yang diterimanya itu berasal dari brankas Grup Permai yang patut diduga merupakan hasil tindak kejahatan.

Johan Budi mengatakan, KPK menerapkan Pasal 18 sesuai dengan United Nations Convention against Corruption (UNCAC) 2003 yang merupakan ketentuan Persatuan Bangsa-Bangsa melawan korupsi. UNCAC 2003 telah diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Penyitaan Hasil Kejahatan.

Mengenai hasilnya, diserahkan kepada  majelis hakim Pengadilan Tipikor yang nantinya akan memvonis Angie. Sementara dalam kasus hakim Syarifuddin, KPK gagal merampas uang senilai Rp 2 miliar lebih yang ditemukan selama penggerebekan di kediaman Syarifuddin. Jaksa KPK menduga uang tersebut merupakan hasil kejahatan sehingga harus dibuktikan asal usulnya melalui pembuktian terbalik.  Jika tidak, uang dalam rupiah dan pecahan mata uang asing itu akan dirampas negara.

Sayangnya, majelis hakim Tipikor tidak sependapat dengan jaksa. Hakim menilai Syarifuddin tidak perlu melakukan pembuktian terbalik karena menurut hakim, uang-uang itu tidak ada kaitannya dengan perkara suap PT SkyCamping Indonesia (PT SCI) yang didakwakan jaksa. Hakim pun memerintahkan jaksa KPK mengembalikan uang-uang sitaan itu kepada Syarifuddin.

Pengamat hukum pidana Ganjar L Bondan menilai KPK harus memaksimalkan perampasan harta koruptor dengan menyertakan Pasal 18 UU Tipikor. Namun, Ganjar berpesan agar lembaga antikorupsi itu lebih berhati-hati dengan melihat kelengkapan alat bukti sehingga unsur penggantian kerugian negara dapat dibuktikan.

"Kalau dari sisi cara penjeraan, itu adalah salah satu caranya. Tidak ada obat yang mujarab. Jadi semua cara harus kita pakai, itu salah satunya," katanya.

Dengan memaksimalkan perampasan harta koruptor, menurut Ganjar, KPK dapat lebih banyak mengembalikan uang negara yang dikorupsi. Dengan demikian, uang yang sedianya menjadi hak masyarakat itu dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tangkap buronan

Jika pimpinan KPK Jilidi II berhasil menangkap Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti yang buron ke luar negeri, pimpinan jilid III berhasil meringkus tersangka kasus dugaan korupsi proyek  pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Neneng Sri Wahyuni pada pertengahan Juni lalu.

Istri Nazaruddin itu ditangkap di kediamannya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, setelah dinyatakan sebagai buronan sejak Agustus tahun lalu. Sebelum masuk ke wilayah Indonesia, Neneng diketahui menetap di Malaysia. Dia dikawal dua warga negara Malaysia saat memasuki wilayah Indonesia melalui jalur ilegal.

Kini, Neneng dan dua warga negara Malaysia tersebut tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dengan ditangkapnya Neneng, apakah pekerjaan rumah KPK untuk memulangkan para tersangka korupsi sudah tuntas?

Jawabannya, belum. Masih ada seorang tersangka korupsi yang masih buron. Adalah Direktur Utama PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo. Tersangka kasus dugaan korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Kementerian Kehutanan itu buron sejak 2009. Kini, keberadaan Anggoro belum diketahui.

Baju tahanan

Sebagai upaya menciptakan efek jera untuk para tersangka korupsi, KPK mempergunakan baju tahanan. Setiap tersangka ataupun terdakwa kasus di KPK wajib mengenakan baju tahanan setiap akan mengikuti pemeriksaan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, maupun ketika memasuki Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk mengikuti persidangan.

Pemakaian baju tahanan ini pertama kali diterapkan KPK kepada mantan Bupati Buol, Amran Batalipu. Awal Juli lalu, KPK menangkap Amran di kediamannya di Buol, Sulawesi Tengah. Amran pun ditahan di Rumah Tahanan Jakarta Timur Cabang KPK yang berlokasi di basement Gedung KPK, Kuningan. Saat akan digelandang ke Rutan, Amran menggunakan baju tahanan KPK serupa jaket berwarna putih dengan tulisan “tahanan KPK”.  Politikus Partai Golkar itu pun tampak mengenakan borgol dan dikawal sejumlah petugas KPK masuk ke mobil tahanan.

Selanjutnya, hampir semua tersangka korupsi menggunakan baju tahanan saat keluar rutan. Sebut saja mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom, Neneng Sri Wahyuni, dan Direktur PT Hardaya Inti Plantation Hartati Murdaya Poo.

Penggunaan baju tahanan ini diharapkan dapat menciptakan efek jera. Namun, beberapa waktu lalu, pimpinan KPK dikejutkan oleh Miranda yang menyiasati baju tahanannya menjadi lebih tampak modis. Miranda yang terjerat kasus suap cek perjalanan itu menggunakan ikat pinggang besar untuk memadukan baju tahanan dengan setelan yang dipakainya.

Desain baju tahanan KPK ini mendapat kritikan dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid saat menemui pimpinan KPK beberapa waktu lalu menyampaikan,  warna putih tidak tepat untuk baju tahanan KPK. Menurutnya, putih melambangkan kebersihan dan kesucian sehingga tidak tepat jika digunakan tersangka korupsi. Hidayat pun menyarankan KPK memakai warna hitam dengan kerah putih untuk para tahanannya.

Penggunaan Rutan Guntur

Pada penghujung tahun 2012, KPK jilid III kembali membuat gebrakan dengan menggunakan rumah tahanan yang berada di Kompleks Pomdam Jaya, Guntur, Jakarta Timur. Penggunaan rumah tahanan ini berdasarkan perjanjian kerjasama KPK dengan TNI.

Berdasarkan perjanjian tersebut, KPK berhak menggunakan lahan dan bangunan di Kompleks Pomdam Jaya. Sejauh ini KPK telah membangun dua sel yang mampu menampung empat tahanan.  Ke depannya, akan dibangun sejumlah sel lagi yang mampu menampung 32 orang. Diperkirakan, pembangunan sel akan selesai pada Juli 2013. Mengenai biayanya, diperkirakan mencapai Rp 2,5 miliar.

Kini, rutan tersebut sudah digunakan KPK. Di sana mendekam Djoko Susilo, dan dua tersangka korupsi lainnya, yakni anggota DPR Zulkarnaen Djabar dan hakim Heru Kisbandono. Semoga mereka jera...

(Icha Rastika/Kompas.com)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×