kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Satu hakim anggota Tipikor minta Atut dibebaskan


Senin, 01 September 2014 / 21:52 WIB
Satu hakim anggota Tipikor minta Atut dibebaskan
ILUSTRASI. Fitur baru iPhone tahun 2023.


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Satu dari lima hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang memutuskan perkara korupsi dalam sengketa Pilkada Lebak, Banten di Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam. Adalah Hakim Anggota Alexander Marwata menyatakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak terbukti.

Menurut Hakim Alexander, Atut tak memiliki niat untuk bekeeja sama dalam memberikan uang sebesar Rp 1 miliar kepada Akil untuk pengurusan sengketa pilkada tersebut. Hal tersebut lantaran Atut tak terbukti mengundang mantan calon Bupati dan Wakil Bupati Lebak Amir Hamzah-Kasmin ke kediamannya untuk membahas Pilkada Lebak.

"Terdakwa tidak pernah diminta persetujuan baik lisan maupun tulisan untuk megajukan keberatan ke MK," kata Alexander dalam persidangan dengan terdakwa Ratu Atut Chosiyah di Pengadilan Tipikor, Senin (1/9).

Lebih lanjut menurut Alexander, pertemuan antara Atut dengan Akil di Singapura, terjadi secara tidak sengaja dan bukan direncanakan untuk mengurusi sengketa Pilkada Lebak. Itu kata Alexander, hanyalah asumsi Akil.

Hakim Alexander juga menyatakan bahwa tidak ada alat bukti yang membuktikan bahwa terdakwa mengetahui adanya permintaan uang Rp 1 miliar dari Akil. Bahkan Alexander menyebut hal tersebut adalah hanya asumsi dari JPU. Atut kata dia, tidak yakin Amir Hamzah bakal memenangkan gugatan di MK sehingga tidak ada alat bukti yang menunjukkan Atut megetahui sudah adanya pemberian uang tersebut dari adiknya kepada Akil.

"Alat bukti rekaman antara terdakwa dan Wawan sudah direkayasa. Bukti yang sudah direkaya sudah tidak bisa digunakan sebagai alat bukti," ucapnya.
 
"Terdakwa tidak terbukti melakukan dan harus dibebaskan," tutur dia.
 
Kendati demikian, dalam memutuskan putusan untuk Atut, Majelis Hakim Pengadilan mengambil suara terbanyak sehingga menyatakan Atut terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pengurusan sengketa pilkada tersebut. Ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsidair lima bulan kurungan.

Namun, vonis Atut ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa KPK sebesar 10 tahun dan denda Rp 250 juta subsidair lima bulan kurungan, juga pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×