Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Siklus kebijakan moneter longgar sepertinya sudah berakhir. Saat ini, kita dihadapkan pada situasi seperti tahun 2013 lalu, ketika Bank Indonesia Dengan sekuat tenaga menjaga stance kebijakan moneter ketat untuk menghadapi ancaman tapering off.
Hal ini berarti, pemerintah sudah kehilangan salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui, satu tahun terakhir, pemerintah cukup mendapatkan dorongan dari sisi moneter untuk menjaga target pertumbuhan ekonomi.
Kini, pemerintah harus melupakan itu, dan mulai memaksimalkan kinerja mesin yang lain; fiskal. “Di tengah ekspektasi ruang pelonggaran moneter yang terbatas, kebijakan fiskal diharapkan dapat tetap memberikan stimulus pada perekonomian,” ujar Ekonom Bank Permata Josua Pardede,
Namun, situasinya juga tidak memberikan banyak pihan, ruang fiskal yang ada sangat terbatas. Oleh karena itu, Josua mendorong pemerintah agar lebih efektif dalam menentukan belanja prioritas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dituntut untuk bisa mengelola fiskal dengan baik, supaya belanja tetap efisien. Oleh karenanya, ada beberapa pos anggaran yang bisa dimaksimalkan.
Salah satunya melalui dana transfer daerah, yang harus lebih efektif untuk proyek-proyek infrastruktur. Keberadaan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) tidak boleh hanya mengendap di rekening daerah. Keberadaan dana-dana itu harus secepatnya bisa diserap untuk proyek-proyek dan kegiatan yang produktif.
Selain itu Josua menilai pentingnya untuk menjaga optimisme dunia usaha agar tetap produktif. Salah satunya melalui pemberian insentif, sehingga iklim investasi dapat terjaga.
Dengan formula-formula itu Josua yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2017 nanti akan berada di kisaran antara 5,1%-5,2%. Sebagai perbandingan, target pertumbuhan ekonomi pemerintah dalam APBN 2017 sebesar 5,1%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News