Reporter: Leni Wandira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkumpulan Jaga Pemilu mencatat salah input dalam aplikasi Sirekap, menjadi pelanggaran tertinggi (25%) yang diperoleh sejak H-1 hingga H+3 sejak hari Pemilihan Umum 14 Februari 2024 lalu.
Info saja, Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) semestinya merupakan penyempurnaan dari Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng), untuk merekapitulasi hasil pemungutan suara pemilu maupun pilkada milik KPU.
"Sejak Orde Baru berakhir, ini adalah pemilu ke-6 yang kita lakukan. Sangat disayangkan bahwa sudah enam kali berturut-turut kita melakukan pemilu, berbagai kecurangan atau kesalahan yang terjadi dan belum bisa diminimalisir,” kata Sekretaris Perkumpulan Jaga Pemilu Luky Djani dalam keterangan tertulis yang diterima kontan, Minggu (18/2).
Pelanggaran tertinggi berikutnya adalah kesalahan administrasi tata cara pelayanan pelaksanaan pemungutan suara (22%) yang dilakukan para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di lapangan.
Luky bilang, kedua pelanggaran itu diperoleh dari pantauan yang Jaga Pemilu lakukan dihampir 7.000 tempat pemungutan suara di lapangan, baik oleh Penjaga Pemilu yang teregistrasi, maupun dari masyarakat.
"Keduanya berbeda dari isu pelanggaran tertinggi sebelum hari H yang didominasi oleh ketidaknetralan aparat," ujar Luky.
Baca Juga: Presiden Jokowi Tiba-Tiba Panggil Surya Paloh ke Istana
Selain salah input Sirekap dan kesalahan administrasi tata cara pemilu, juga ada persoalan netralitas penyelenggara, politik uang di H-1 sampai menjelang pencoblosan atau yang dikenal sebagai serangan fajar, juga ada pelanggaran terkait dengan daftar pemilih tetap.
"Misalnya, ada nama di daftar tapi tidak menerima surat panggilan. Atau sebaliknya, ada anggota keluarga yang sudah wafat tapi menerima surat panggilan,” kata Luky.
Ia menbandingkan apa yang terjadi di Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Pemilu 1992 ketika Orde Baru masih berkuasa.
"Artinya, setelah 30 tahun Indonesia menyelenggarakan pemilu bebas, berbagai kesalahan masih terus terjadi," ungkapnya.
Sementara itu, pendiri JagaSuara2024 Hadar Gumay menilai kesalahan penginputan data di Sirekap tidak bisa dianggap enteng. Pasalnya, data rekapitulasi yang secara manual akan dilakukan bertahap sesungguhnya bertumpu pada bahan awal dari aplikasi Sirekap.
"Sehingga data Sirekap harus benar-benar jujur mencerminkan perolehan hasil dari TPS. Jadi kalau bahan awalnya kotor, maka rekap manualnya pun akan tidak bersih," ungkap Hadar.
Hadar juga mengutip temuan JagaSuara2024 yang mengambil 5.000 sampel data Sirekap yang tersebar di 1.172 kelurahan yang dipilih secara acak tersebar di 494 kabupaten/kota.
Dari sampel sebanyak itu, ditemukan 2.66% kesalahan suara sah tidak sama dengan jumlah suara paslon, 0,88% suara sah tidak sesuai dengan foto formulir C dan 1,96% satu atau lebih suara paslon tidak sesuai dengan foto formulir C.
“Ada kemungkinan di antara sampel ada kesalahan yang telah diperbaiki sebelum diunduh, sehingga tingkat kesalahan sebenarnya lebih tinggi. Sirekap sesungguhnya alat bantu yang sangat penting, tapi sebagaimana alat, ia bisa direkayasa, sehingga harus diperhatikan dan diawasi betul,” kata Hadar.
Dus, Hadar menyimpulkan jika penyelenggara Pemilu 2024 cenderung tidak mandiri. Ia mengutip intervensi DPR dalam memutuskan apa yang sesungguhnya menjadi wewenang KPU, serta intervensi lainya yang membuat peraturan dan data sampai harus berubah.
Misalnya, kata dia, peraturan tentang kewajiban 30% calon legislatif harus perempuan banyak tidak terwujud. Bahkan ada enam partai yang jelas-jelas tidak memenuhi prasyarat ini.
“Berkali-kali kesalahan yang dilakukan KPU dianggap sebagai persoalan kecil, yang saling ditutupi. Ini persoalan serius. Saya menyoroti penyelenggara pemilu kita saat ini nyata-nyata melaksanakan pemilu tidak sesuai dengan Undang-Undang. Ini cacat besar dalam demokrasi kita. Jadi jangan seolah-olah kita bilang pemilu selesai dan tutup buku,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News