Reporter: Fahriyadi | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Cerita memilukan dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di negeri orang seakan tak pernah usai. Belum juga reda iklan jual obral TKI, kini seorang pekerja migran dikabarkan mengalami pelecehan seksual. Mirisnya, surat kabar setempat melansir korban diperkosa polisi di kantor polisi Malaysia, akhir pekan lalu.
Memang, reaksi dan kecaman selalu datang pasca kejadian tragis yang membuktikan bahwa perlindungan terhadap para pahlawan devisa itu masih lemah. Payung hukum yang seharusnya menjamin dan melindungi hak-hak TKI di negara penempatan, bisa dibilang masih jauh api dari panggang.
Lihat saja, Rancangan Undang Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negari (PPILN) masih tertahan di Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat (Pansus DPR). Pansus bakal membahasnya pertengahan bulan ini. Padahal, revisi terhadap UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ini sudah diajukan sejak beberapa tahun lalu.
Poempida Hidayatullah, anggota Pansus RUU PPILN mengatakan, DPR berkomitmen menyelesaikan pembahasan beleid TKI secepatnya, namun tidak mungkin selesai tahun ini. "Kami mengakui, ekspektasi masyarakat cukup besar agar RUU ini bisa segera diselesaikan. Tapi pembahasan di tingkat pansus bakal memakan waktu lama," ujar Poempida, Minggu (11/11).
Menurut Poempida, RUU PPILN sangat multikompleks dan multisektoral sehingga dalam penggodokannya melibatkan banyak kementerian dan lembaga, yakni Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, dan lembaga lainnya.
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, RUU PPILNĀ akan menjadi payung hukum terkait masalah TKI di luar negeri. "Tapi bukan jaminan masalah TKI tuntas begitu aturan ini disahkan," tandasnya. Hanya saja, Poempida menambahkan, aspek perlindungan akan diperkuat untuk menambal bolong-bolong dalam aturan lama yang cenderung mengedepankan sisi penempatannya saja.
Jumhur Hidayat, Kepala BNP2TKI mengakui, RUU PPILN sudah mendesak tapi pembahasannya harus hati-hati. "Ada 1.000 daftar inventaris masalah (DIM) sehingga pembahasannya bakal panjang," ungkapnya.
Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care kecewa draf terakhir revisi calon beleid tersebut. Meski penyusunannya menghabiskan waktu tiga tahun, isinya belum menjawab masalah perlindungan bagi para TKI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News