Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang makin dalam kian menjadi perhatian, terutama dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan rupiah yang terdepresiasi, beban fiskal pemerintah semakin meningkat terutama dalam hal pembayaran utang luar negeri, subsidi energi, serta impor barang strategis.
Kondisi ini menuntut langkah mitigasi agar stabilitas ekonomi tetap terjaga dan daya beli masyarakat tidak terganggu.
Head of Macroeconomic and Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman menjelaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah memang memberikan dampak, baik dari sisi belanja negara maupun penerimaan negara.
Baca Juga: Begini Hitungan JP Morgan terkait Dampak Pelemahan Rupiah ke Pasar Modal
Dari sisi belanja, pelemahan rupiah akan berdampak pada kenaikan subsidi dan kompensasi energi terutama bahan bakar minyak (BBM) karena pemenuhan BBM dilakukan melalui impor.
Kemudian, pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri juga dapat meningkat karena utang dilakukan dalam denominasi misalnya dolar AS.
"Selain itu, pengadaan barang oleh pemerintah yang melalui impor seperti alat militer dan bahan baku proyek infrastruktur menjadi lebih mahal," ujar Faisal kepada Kontan.co.id, Senin (3/3).
Kendati begitu, menurut Faisal, terdapat pula dampak positif dari pelemahan rupiah terhadap penerimaan negara.
Ia menyebut, penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor berbasis ekspor cenderung dapat meningkat karena nilai ekspor dalam rupiah menjadi lebih besar.
Perusahaan tambang, perkebunan, dan energi yang berorientasi ekspor akan mendapat keuntungan dari pelemahan rupiah yang berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dari sektor SDA seperti pajak penghasilan (PPh) dan royalti.
Selain itu, kata Faisal, terdapat pula potensi kenaikan penerimaan bea masuk dan pajak impor. Pasalnya, nilai barang impor yang lebih mahal akan dapat meningkatkan penerimaan dari bea masuk dan PPN impor.
"Akan tetapi, dengan adanya risiko Trade War 2.0 dan masih berlanjutnya normalisasi harga komoditas, kinerja ekspor cenderung bisa menurun yang secara keseluruhan dapat berdampak pada besarnya penerimaan negara," katanya.
Baca Juga: Rupiah Spot ke Rp 16.286 Jumat (21/2) Pagi, Menghentikan Pelemahan 3 Hari Beruntun
Faisal menyebut, asumsi rupiah pada APBN 2025 ditetapkan sebesar Rp 16.000 per dolar AS. Saat ini secara rata-rata year to date (ytd), nilai tukar rupiah berada di sekitar Rp 16.291 per dolar AS.
Oleh karena itu, menurutnya asumsi tersebut dalam APBN 2025 belum perlu direvisi oleh pemerintah.
"Tetapi jika ketidakpastian global terus berlanjut dan menekan nilai tukar rupiah, maka memang ada keperluan pemerintah untuk merevisi asumsi nilai tukar rupiah," imbuhnya.
Selanjutnya: Medistra Hospital Resmikan Oncology Center,Terobosan Baru Layanan Kanker di Indonesia
Menarik Dibaca: Harga Emas Rebound Pasca-Turun Tajam, Terkerek Rencana Tarif AS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News