kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Rokok penyumbang kemiskinan, ini kata ekonom


Kamis, 07 Januari 2016 / 15:08 WIB
Rokok penyumbang kemiskinan, ini kata ekonom


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati mengaku tidak sependapat dengan anggapan bahwa rokok merupakan penyumbang terbesar angka kemiskinan di Indonesia lantaran sebagian masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan kuat untuk membeli rokok.

Menurutnya, faktor penyebab utama dari naiknya angka kemiskinan lebih karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan formal dan juga banyaknya pemutusan hubungan kerja yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Enny mengatakan, struktur pendapatan masyarakat penghasilan menengah ke bawah, miskin ke rentan miskin, memang 70 % untuk konsumsi makanan dan non makanan mencapai 30 %.

Artinya, ketika porsi terbesar makanan terjadi kenaikan harga, kemudian katakanlah 10 % digunakan untuk membeli rokok, maka memang bobot pengeluaran kelompok itu jadi tinggi. Namun, itu hanya persentase dan tidak jadi faktor tunggal

"Jadi, rokok bukan penyebab kemiskinan, bahwa terjadi kenaikan persentase pengeluaran memang iya sehingga terkesan seolah olah harga rokok tinggi jadi penyebab kemiskinan. Tetapi analisa Badan Pusat Statistis (BPS) tidak lengkap," ujar Enny, Kamis (7/1).

Menurutnya, masih tingginya persentase kemiskinan itu lebih karena adanya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang memang belum bisa dikendalikan oleh pemerintah sehingga mereka yang berada di kelompok rentan miskin bisa dengan mudah masuk ke kategori miskin.

Sementara itu, pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengingatkan, bahwa dalam setiap pembahasan dengan tembakau, tidak bisa berdiri sendiri atau mengedepankan kepentingan lembaga sendiri karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

"Tatkala kita bicara mengenai industri rokok maka kita harus melihatnya secara holistik dan multi aspek. Dalam industri ada entitas yang terdiri dari buruh/pegawainya, sebagai suatu hal yang tak dapat kita abaikan," kata wanita yang akrab disapa Nuning ini.

Nuning menambahkan, bila dilakukan pengetatan regulasi secara berlebihan, hingga berujung penutupan atas industri rokok maka akan bertambah jumlah pengangguran eks buruh atau pegawai rokok sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan.

"Hal ini tentu dapat memicu kerawanan sosial, sangat mudah menjadi obyek proxy. Kemarahan massa mudah disulut sehingga mengganggu keamanan bahkan pertahanan negara," tukasnya.

Sebelumnya pada Senin (4/1) lalu, Kepala BPS Suryamin menyatakan terjadi kenaikan angka jumlah penduduk miskin dari September 2014 ke September 2015 sebanyak 780 ribu jiwa. Pada September 2014, jumlah penduduk miskin sebanyak 27,73 juta jiwa dan pada September 2015 meningkat menjadi 28,51 juta jiwa yang disimpulkan akibat konsumsi rokok yang tinggi di masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×