kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.194   -14,00   -0,09%
  • IDX 7.101   4,31   0,06%
  • KOMPAS100 1.062   -0,16   -0,01%
  • LQ45 836   -0,04   -0,01%
  • ISSI 215   0,08   0,04%
  • IDX30 427   0,29   0,07%
  • IDXHIDIV20 515   1,86   0,36%
  • IDX80 121   -0,07   -0,06%
  • IDXV30 125   -0,20   -0,16%
  • IDXQ30 143   0,19   0,13%

Ribuan nelayan Rembang tuntut Menteri Susi mundur


Rabu, 28 Januari 2015 / 10:18 WIB
Ribuan nelayan Rembang tuntut Menteri Susi mundur
ILUSTRASI. Ramalan BMKG menunjukan cuaca di Yogyakarta pada Jumat (11/8) besok cerah berawan hingga berawan


Sumber: TribunNews.com | Editor: Uji Agung Santosa

REMBANG. Ribuan nelayan memadati jalan Gajah Mada, Desa Gunung Wetan, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Rabu (28/1/2015). Mereka melakukan aksi jalan kaki menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DpRD) Kabupaten Rembang.

Mereka membawa spanduk menolak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen) Nomor 1 dan Nomor 2 tahun 2015. Mereka juga menuntut Menteri KKP Susi Pudjiastuti diturunkan dari jabatannya.

Seperti diketahui, sejak menjabat pada akhir Oktober 2014 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti telah menerbitkan sejumlah peraturan menteri. Peraturan baru tersebut ternyata menimbulkan sejumlah kontroversi dan penolakan dari sebagian nelayan dan pelaku usaha perikanan di tanah air.

Salah satu peraturan terbaru yang diundangkan pada 7 Januari 2015 adalah peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor 1/permen-kp/2015 tentang larangan penangkapan lobsters (panulirus sp), kepiting (Scylla spp) dan rajungan (Portunus pelagius spp). Dalam pasal 2 permen No.1 2015 ini ditegaskan setiap orang dilarang melakukan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan dalam kondisi bertelur.

Demikian juga dalam pasal 3 dilarang menangkap lobseter di bawah 8 cm, kepiting di bawah ukuran lebar karapas lebih kecil dari 15 cm dan rajungan dengan ukuran lebar karapas di bawah 10 cm. Tanpa ada sosialisasi yang lama, aturan ini langsung diberlakukan saat diundangkan. 

Hasilnya, Badan Karantina Ikan, Pengendali Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) menggagalkan pengiriman jenis lobster bertelur dan ukuran di bawah delapan cm di Bandara Soekarno-Hatta yang hendak dikirim ke Hong Kong dan Shanghai pada Sabtu (17/1) lalu.

Aturan kontroversi lainnya adalah peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang penghentian bongkar muat di tengah laut atawa transhipment yang dikeluarkan pada awal Desember 2014 lalu. Akibatnya, sejumlah kapal milik perusahaan perikanan lokal berhenti beroperasi karena Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSKP) tidak menerbitkan Surat Layak Operasi (SLO).

Kemudian, Permen KKP No. 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

Seorang pengusaha lobster asal Nusa Tenggara Timur bernama Aminollah mengatakan akibat peraturan baru tentang larangan ekspor lobster ukuran di bawah 8 cm membuat pelaku usaha lokal mati. Sebab, para pelaku usaha lobster kesulitan mengekspor bibit lobster ke luar negeri. "Akibatnyanya, kami kehilangan penghasilan sebesar Rp 8,4 juta per bulan per orang," ujarnya.

Ia mengatakan, Permen No.1 tahun 2015 ini perlu ditinjau kembali. Pasalnya, masyarakat NTB sejak 2008 sudah memproduksi bibit lobster kurang lebih 10 juta ekor per tahun. Akibat permen ini, maka nelayan tidak dapat mengekspor bibit lobster ke luar negeri.

Ketua Asosiasi Budidaya Laut Indonesia (Abilindo) Wajan Sudja mengkritik kebijakan tersebut yang berpotensi membunuh pelaku usaha lokal. Ia pun membentuk grup sendiri di media sosial dengan nama "Media Korban Susi".  Ia mengatakan industri sektor perikanan banyak melibatkan kehidupan rakyat miskin di pesisir. Mereka ini yang merasakan dampak kebijakan ini, karena sebagian mereka menjadi anak buah kapal, yang mana kapal-kapal tersebut sekarang sulit beroperasi karena PSKP tidak menerbitkan SLO.

Wajan juga menilai permen No.2 tahun 2015 merugikan pelaku usaha perikanan, khususnya di daerah Pantura Jawa. Pasalnya, ada puluhan ribu perahu yang berpotensi tidak dapat beroperasi lagi. "Lalu ibu menteri tidak memberikan alternatif atau jalan keluar bagi nelayan miskin. Padah itu sudah menjadi tugas menteri," ujarnya. (Tribun Jateng, Bakti Buwono)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×