Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama dengan empat Organisasi Profesi Kesehatan melakukan aksi damai di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Senin (8/5). Aksi damai ditujukan dalam rangka menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
Juru Bicara Aksi Damai Stop Pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law), dr Beni Satria mengatakan, kurang lebih 15.000 perwakilan dokter, tenaga kesehatan (nakes) hingga anggota organisasi rumah sakit dari seluruh Indonesia ikut menyuarakan penolakan RUU Omnibus Law Kesehatan sejak pagi tadi.
"Kita sudah beri masukan tapi ada informasi akan segera disahkan, tentu ini membuat berbagai macam reaksi bukan hanya dari IDI, juga dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) hingga Asosiasi Rumah Sakit juga," kata Beni ditemui di tengah Aksi Damai Penolakan Pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan, Senin (8/5).
Adapun, beberapa poin yang disuarakan dalam aksi damai meliputi anggaran, perizinan, hak-hak nakes dalam mendapatkan perlindungan hukum. Selain itu aksi damai penolak RUU Omnibus Law Kesehatan agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Beni menggarisbawahi bahwa RUU Omnibus Law Kesehatan justru menjadi potensi kriminalisasi bagi dokter dan tenaga kesehatan.
Baca Juga: Kemenkes Meminta Dokter dan Tenaga Kesehatan Tidak Meninggalkan Pelayanan Pasien
Ia mengatakan, seharusnya apabila terjadi permasalahan pada dokter dan tenaga kesehatan dapat diselesaikan di internal atau secara etik. Saat etik selesai dan ditemukan indikasi ke arah hukum baru bisa dibawa kesana. Hal ini sama seperti organisasi profesi lainnya.
"Pasal itu diatur 321 sampe 338. Jadi tanpa bukti jelas setiap orang berhak tuntut ganti rugi akibat kesalahan. Padahal belum tentu itu salah, misal saja karena reaksi obat. Ada s indrom stevens johnson yang ngga diketahui masyarakat dan dokter bisa ngga tahu pada saat minum paracetamol misal ada muncul reaksi, itu dituduh malpraktik dan bisa dituntut. Padahal hal ini harus ada pembuktian dahulu," jelasnya.
Beni menegaskan, organisasi profesi mendukung apabila pemerintah memiliki program baik dalam transformasi kesehatan. Dimana pemerintah saat ini memiliki program enam pilar transformasi kesehatan.
Namun, Beni menyebut program transformasi kesehatan tersebut seharusnya dapat dituangkan dalam peraturan presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan atau bahkan peraturan daerah.
Bukan malah menyatukan beberapa undang-undang bahkan juga menghapus aturan sebelumnya. Artinya aturan yang sebelumnya sudah ada tetap berjalan.
Menurutnya, penggabungan beberapa undang-undang dan menghapus undang-undang menjadi omnibus law justru akan berdampak pada pelayanan kesehatan ke depan.
"Enam pilar transformasi kesehatan itu bagus, tapi bukan dengan menggabungkan undang-undang menjadi omnibus dan ada undang-undang yang dihapuskan. Apabila pemerintah punya program yang baik kita dukung tapi program tersebut cukup ditelurkan saja dalam bentuk, peraturan pemerintah, perpres, permenkes atau bahkan perda," ungkapnya.
Baca Juga: Kemenkes: RUU Kesehatan Jamin Pendidikan Spesialis Murah hingga Kurangi Bullying
Adapun jika upaya aksi damai yang dilakukan belum juga membuahkan hasil, Beni menyebut IDI dan empat organisasi profesi akan melakukan langkah hukum yang sudah diatur oleh konstitusi.
"Kita ada 5 organisasi profesi pasti akan melakukan langkah hukum yang sudah diatur oleh konstitusi, pasti kita akan lakukan itu," jelasnya.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto mengatakan, sebelumnya organisasi profesi meminta kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk mengajak pihaknya dialog dua arah terkait RUU Omnibus Law Kesehatan.
"Ajak kami dialog dua arah, ada poin-poin krusial yang harus dikompromikan tapi sayangnya bapak Menkes tidak kompromi sehingga saat ini kita melakukan aksi damai," kata Slamet.
Ia menambahkan, apabila aksi damai belum juga membuahkan hasil, rencananya akan ada aksi lanjutan yakni cuti bersama. Ia berharap DPR dan pemerintah untuk mengajak pihaknya berdiskusi mengenai RUU Omnibus Law Kesehatan.
"Kami minta maaf kepada masyarakat apabila nantinya cuti bersama tidak melayani masyarakat khususnya pasien bukan emergency. Tapi kalau pasien emergency kami akan tetap lakukan pelayanan seoptimal mungkin," tuturnya.
Sebelumnya dalam keterangan tertulis, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta agar para dokter, dokter gigi, perawat, bidan dan apoteker tidak meninggalkan pelayanan mereka kepada masyarakat, sehubungan dengan aksi damai yang dilakukan hari ini.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril mengatakan, mengungkapkan pendapat merupakan hal yang biasa, namun jangan sampai partisipasi mereka dalam demonstrasi di hari Senin, 8 Mei serta rencana pemogokan massal untuk melayani pasien di beberapa hari ke depan mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Baca Juga: Pemerintah Menambah Perlindungan Tenaga Medis di RUU Kesehatan
“Layanan pasien harus diprioritaskan. Marilah teman sejawat mengingat sumpah kita: Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan, dan Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien,” kata dr. Syahril dalam keterangan tertulis, Minggu (7/5).
Ia menyinggung mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil serta ketentuan lain yang berlaku pada masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan.
Kemenkes meminta agar para dokter dan tenaga kesehatan yang bertugas di Rumah Sakit dan unit layanan Kemenkes untuk tidak meninggalkan tugas memberikan pelayanan pada jam kerja tanpa adanya alasan yang sah dan izin dari pimpinan satuan kerja.
Salah satu tuntutan dari para pendemo adalah RUU Kesehatan seolah-olah berpotensi memicu kriminalisasi kepada dokter dan tenaga kesehatan. Menurut dr. Syahril, hal ini sangat tidak beralasan.
“Janganlah kita memprovokasi seolah-olah ada potensi kriminalisasi. Itu tidak benar. Justru RUU Kesehatan ini menambah perlindungan baru, termasuk dari dari upaya-upaya kriminalisasi. Kita niatnya melindungi, kok malah didemo,” kata dr. Syahril.
RUU Kesehatan saat ini sedang tahap pembahasan antara DPR RI dengan pemerintah. Melalui RUU ini, pemerintah mengusulkan tambahan perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Pasal-pasal perlindungan hukum ditujukan agar jika ada sengketa hukum, para tenaga kesehatan tidak langsung berurusan dengan aparat penegak hukum sebelum adanya penyelesaian diluar pengadilan, termasuk melalui sidang etik dan disiplin,” tuturnya.
Menurut Syahril, terdapat beberapa pasal baru perlindungan hukum yang diusulkan pemerintah, seperti pelindungan hukum bagi peserta didik, hak menghentikan pelayanan jika mendapatkan tindak kekerasan, dan pelindungan hukum pada kondisi tertentu seperti wabah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News