Reporter: Hasyim Ashari | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla memperioritaskan untuk membenahi perekonomian Indonesia dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi 7% pada 2019. Maka dari itu Jokowi menetapkan target-target penerimaan yang tinggi.
Namun target yang dipatok tinggi tersebut ternyata banyak yang tidak tercapai. Pada 2015 saja penerimaan negara hanya bisa tercapai 84,7%. Ini diakibatkan penerimaan dipatok terlalu tinggi sedangkan kondisinya tidak memungkinkan. Alih-alih belajar pada 2015, mantan Walikota Solo tersebut malah menargetkan angka yang lebih tinggi pada 2016.
Dan puncaknya pada bulan Juni, pemerintah memotong anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp 50,01 triliun supaya penerimaan yang dipatok tidak melenceng. Dan ternyata itu tidak cukup supaya menjaga defisit tidak melebar pemerintah pada Agustus kembali memangkas anggaran sejumlah K/L ditambah menunda dana transfer ke daerah sejumlah Rp 133,8 triliun.
Anggota Komisi XI DPR, Indah Kurnia dalam sebuah diskusi menyampaikan dua tahun kemarin pemerintahan Jokowi menetapkan target penerimaan negara tidak realistis akhirnya defisit anggaran melebar dan terjadi pemotongan anggara. "Dalam kondisi ekonomi yang lesu mereka memberikan target pajak yang tinggi tanpa disertai perbaikan sistem," ungkap Indah Selasa (25/10).
Untuk meningkatkan penerimaan negara yang pasti akhirnya Presiden Jokowi membuat program pengampunan pajak tujuannya yaitu supaya dana dari luar masuk ke Indonesia untuk menggerakan ekonomi Indonesia dan memperbaiki data base perpajakan. Namun itu saja tidak cukup, ini harus dibarengi revisi UU lainnya.
Indah menyampaikan pemerintah harusnya tidak hanya melakukan revisi terhadap UU perpajakan baik itu UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh) maupun UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melainkan harus melakukan sinkronisasi terhadap UU tersebut. "Termasuk sinkronisasi terhadap UU perbankan," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menyampaikan alasan kenapa UU Perbankan perlu disinkronisasi dengan UU Perajakan, sebab pada 2018 akan menghadapi keterbukaan data perbankan. "Jika tidak disesuaikan maka akan ketinggalan," ungkapnya.
Lebih lanjut Yustinus menyarankan supaya UU perpajakan bisa saling terkait satu sama lain maka pembahasannya harsu disesuaikan, hal ini supaya menghindari adanya pasal yang bertentangan satu sama lain. "Dulu UU dibahas terpisah akhirbya KUP ke mana, PPh ke mana. Lebih baik sekarang disatukan pembahasannya," paparnya.
Selain itu dia juga meminta supaya DPR secepatnya membahas UU tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya kehilangan momentum setelah adanya program tax amnesty dan akhirnya pembahasan revsisi beberapa UU tersebut tidak maksimal. "Setelah tax amnesty orang menunggu kapan PPh akan diturunkan. Kalau lama takutnya kepercayaan masyarakat akan hilang," ungkapnya.
Indah juga menegaskan bahwa lembaganya akan mengupayakan pembahasan revisi beberapa UU selesai 2017, hal ini supaya sejalan dengan semangat pajak pada program tax amnesty yang akan berakhir pada Maret 2017.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News