kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rasio Kepatuhan Wajib Pajak Non Karyawan Hanya 26,84%


Minggu, 02 April 2023 / 20:05 WIB
Rasio Kepatuhan Wajib Pajak Non Karyawan Hanya 26,84%
ILUSTRASI. Pegawai melayani Wajib Pajak yang akan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, sudah ada 12,01 juta Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang dilayangkan oleh wajib pajak sampai dengan 31 Maret 2023.

Hanya saja, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan  Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti melaporkan, bahwa tingkat kepatuhan formal Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) non karyawan yang menyampaikan SPT Tahunan tepat waktu masih terbilang rendah.

Pasalnya, sampai dengan 31 Maret 2023, hanya sebanyak 1,1 juta SPT Tahunan yang dilaporkan oleh WP OP non karyawan atau mencapai kepatuhan 26,84% dari total 4,4 wajib SPT Tahunan.

“Perhitungan kepatuhan SPT Tahunan ini dilakukan sampai akhir tahun 2023, dan WP OP masih dapat melaporkan SPT Tahunannya meskipun telah melewati batas waktu pelaporan pada 31 Maret lalu,” ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Minggu (2/4).

Apabila ditelisik, memang tingkat kepatuhan WP non karyawan semakin rendah. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio kepatuhan formal WP OP non karyawan di tahun 2021 hanya sebesar 45,53%. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang sebesar 52,44%.

Baca Juga: Terima 12,01 Juta SPT Tahunan, Sri Mulyani Janji Jaga Kepercayaan Wajib Pajak

Menanggapi hal tersebut, direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research (TRI) Priyanto Budi Saptono mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang membuat tingkat kepatuhan WP non karyawan rendah.

Pertama, kepatuhan formal bagi non karyawan lebih kompleks lantaran ada penghasilan yang bersumber dari usaha. Berbeda dengan kepatuhan formal bagi karyawan yang lebih sederhana karena semua penghasilannya sudah dipotong PPh 21.

“Mereka (karyawan) tinggal salin angka-angka di forum 1721-A1 yang diberikan pemberi kerja ke dalam forum 1770S. Tidak ada penghasilan dari usaha, sedangkan penghasilan non usaha juga tinggal direkap ke dalam forum 1770S,” kata Prianto kepada kontan.co.id, Minggu (2/4).

Kedua, bagi WP non karyawan, penghasilan harus dibagi menjadi objek PPh dan non objek PPh. Untuk penghasilan sebagai objek PPh, mereka harus pisahkan lagi mana objek PPh final dan objek non final.

Prianto bilang, WP non karyawan, mereka juga harus mengumpulkan bukti potong PPh dari lawan transaksi yang memberikan penghasilan kepada mereka. Sayangnya, seringkali proses ini butuh waktu karena implementasinya baru menjelang akhir jatuh tempo pelaporan SPT PPh OP.

Oleh karena itu, Prianto menekankan kepada DJP untuk meningkatkan kepatuhan pajak non karyawan dengan cara sosialisasi dan dialog rutin secara intensif. Dengan cara ini, diyakini knowledge gap yang terjadi dapat diminimalkan.

“Peraturan yang berubah-ubah dan multitafsir menjadi alasan lain bagi mereka untuk terus update aturan. Pada akhirnya, mereka harus kreatif untuk patuh pajak. Kadangkala mereka justru memilih bingung secara pasrah dan jujur (homeostasis per pel itu),” jelasnya.

Senada dengan Prianto, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa WP non karyawan lebih rumit pelaporannya jika dibandingkan dengan karyawan.

“Hanya sebagian WP non karyawan yang penghasilannya dipotong oleh pihak ketiga, sebagian besar malah tidak. Dia harus melakukan perhitungan sendiri, serta bayar dan lapor sendiri,” terang Fajry.

Baca Juga: Meski Terguncang Skandal, Pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Meningkat Positif

Selain itu, Fajry menilai bahwa banyak WP non karyawan yang bekerja di sektor informal sehingga sulit untuk dipajaki.

Menurutnya, DJP perlu melakukan sosialisasi namun lebih mengarah kepada teknis kepada WP non karyawan. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan berbasis risiko. Artinya, mereka yang selama ini tak lapor SPT harusnya menjadi sasaran pemeriksaan.

“Kabar baiknya DJP sedang mengembangkan core tax system, jadi mereka yang risiko tinggi (seperti tak lapor SPT) akan menjadi target optimalisasi penerimaan,” katanya.

Tidak hanya itu, DJP juga perlu meningkatkan pertukaran data pihak ketika. Artinya, pemerintah perlu menambah akses data dari pihak ketiga.

Fajry juga menyarankan DJP untuk bekerjasama dengan K/L lain dalam mendorong agar sektor informal bisa naik kelas menjadi sektor formal. Lebih lanjut, mendorong digitalisasi sektor informal terutama dalam sistem pembayaran.

Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyampaikan, rendahnya tingkat kepatuhan WP non karyawan di karena kan tidak ketahuan mereka dalam melaksanakan kewajibannya.

“WP non karyawan banyak yang tidak mengetahui bahwa walaupun sudah dipotong penghasilannya oleh pihak ketiga masih tetap memiliki kewajiban menghitung ulang pajaknya dan menyampaikan SPT Tahunan. Ada pula yang memang enggan atau abai,” katanya.

Menurut Ajib, untuk meningkatkan kepatuhan WP non karyawan tidak bisa hanya mengandalkan voluntary disclosure. Namun DJP sebagai institusi harus memiliki database yang bagus dan terintegrasi. Dengan adanya database ini, terhadap WP non karyawan semakin kecil ruang untuk menghindari atau mengelak dari kewajiban pajaknya.

Kemudian, upaya preventif yang bisa dilakukan sambil membangun sistem dan database yang baik adalah dengan melakukan sosialisasi terus menerus dan bertarget, misalnya menyasar ke segmen pekerjaan/profesi tertentu serta para asosiasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×