Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih akan menerapkan skema burden sharing atau berbagi beban pada Undang-Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.
Pasalnya, dalam draft RUU APBN 2023, turut memuat ketentuan khusus mengenai burden sharing antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) dalam hal terdapat kenaikan belanja subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak (BBM).
Merujuk pada draf RUU tersebut, dalam Pasal 19 ayat (1) tertulis dalam kondisi tertentu, pemerintah dapat memperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi terhadap kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) yang dibagihasilkan.
"Jadi kan kita sudah tetapkan ni anggaran subsidi dan anggaran kompensasi di APBN Kita. Misalnya Indonesian Crude Price (ICP) US$ 100 ternyata naik menjadi US$ 120. Nah Tentunya kan PNBP naik, kemudian realisasi PNBP yang dibagihasilkan ini kan juga naik. Namun di sisi yang lain, subsidi kita kan juga bengkak dan kompensasi meningkat signifikan," ujar Direktur Penyusunan APBN Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan dalam acara Konsultasi Publik RUU APBN Tahun Anggaran 2023, Selasa (26/7).
Baca Juga: Tiga Hal Ini Jadi Pertimbangan Dalam Penyusunan Kebijakan Makro dan Fiskal 2023
"Nah tentunya kalau ada kenaikan ini, ada beban tambahan ya harap ini bisa dibagi dong antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Itu intinya," jelas Rofyanto.
Sementara pada Pasal 19 ayat (2) menyebut, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi terhadap kenaikan PNBP Migas Sumber Daya Alam yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Selain skema burden sharing PNBP SDA dengan subsidi energi dan kompensasi, pengaturan khusus yang ada dalam RUU APBN 2023 adalah fleksibilitas pelaksanaan APBN dan antisipasi keadaan darurat.
Rofyanto mengatakan, pada tahun depan, kondisi perekonomian global masih dibayangi dengan ketidakpastian yang masih tinggi. Ia menyebut, meski pandemi Covi-19 sudah terkendali namun masih ada hal-hal yang membuat perekonomian global masih diselimuti ketidakpastian.
Baca Juga: Menteri Investasi Bahlil Lahadalia Cabut 15 Izin Koinsesi Kawasan Hutan
"Dengan adanya disrupsi supply kemudian tensi geopolitik , harga komoditas naik, ini beberapa negara sepertinya sudah kembali akan memasuki resesi. Jadi tahun 2023, Amerika dan negara-negara Eropa juga diperkirakan akan mengalami resesi." kata Rofyanto.
Namun hal yang tidak diduga, justru China mengalami perlambatan ekonomi. Pasalnya, menurut Rofyanto, China merupakan negara yang ekonominya senantiasa membaik dan selalu tumbuh di atas 7%. Akibat perlambatan ekonomi di China tersebut, alhasil dampaknya ke supply chain.
"Mereka (China) menjalankan zero covid policy, jadi memang ada pembatasan kegiatan ekonomi yang sangat ketat, ini dampaknya ke disrupsi supply. Kita tau China itu produsen berbagai barang di dunia," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News