kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

PUKAT UGM nilai reformasi birokrasi jadi cara tekan korupsi di daerah


Minggu, 28 Oktober 2018 / 21:39 WIB
PUKAT UGM nilai reformasi birokrasi jadi cara tekan korupsi di daerah
ILUSTRASI. Barang bukti OTT KPK Bupati Cirebon


Reporter: Muhammad Afandi | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Zaenur Rohman, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM mengatakan, pemerintah harus serius melakukan pencegahan perilaku korupsi dengan reformasi birokrasi.

“Tindakan pencegahan melalui reformasi birokrasi. Misalnya mewajibkan semua daerah menggunakan e-planning, e-budgeting dan e-procurement,” ungkap Zaen saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (28/10).

Ia mengungkapkan bahwa korupsi di daerah sangat masif terjadi. Terbukti dengan ditangkapnya Bupati Cirebon pada 24 Oktober lalu merupakan kepala daerah ke-19 yang diproses KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) di tahun 2028. Dan juga menjadi kepala daerah ke-100 yang diproses oleh KPK sejauh ini.

Sementara baru-baru ini KPK mencokok dan menersangkakan 4 orang dari Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Yakni ketua Komisi B Borak Milton, Sekretaris Komisi B, Punding LH dan dua orang anggota komisi yakni Arisavanah dan Edy Rosada.

Mereka diduga menerima suap sebesar Rp 240 juta dari pihak swasta PT. Binasawit Abadi Pratama (BAP). Mahar tersebut terkait terkait pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan Komisi B DPRD Kalteng tersebut dalam bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan dan lingkungan hidup di Pemprov Kalteng tahun 2018.

Melihat kondisi tersebut, Zaen menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat perilaku korupsi di daerah.

Pertama menurutnya biaya politik tinggi dalam pilkada langsung. Hal itu membuat kepala daerah terpilih selalu berpikir mengembalikan modal.

Kemudian kedua, Zaen menuding fungsi pengawasan Inspektorat di daerah sangat lemah. Karena kedudukannya yang berada dibawah kepala daerah itu sendiri, sehingga tidak berhasil mencegah tindak korupsi tersebut. Sementara di DPRD, yang seharusnya mengawasi pemerintahan malah memanfaatkan fungsi dan jabatannya.

“Begitu juga DPRD yang justru banyak memeras kepala daerah misalnya dalam pengesahan anggaran,”

Ketiga adalah aparat birokrasi turut melakukan korupsi bersama kepala daerah, sehingga tidak adanya penyeimbang yang mengontrol kepala daerah tersebut secara internal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×