kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PT KAI digugat eks karyawannya soal rumah dinas


Selasa, 25 November 2014 / 21:55 WIB
PT KAI digugat eks karyawannya soal rumah dinas
ILUSTRASI. Promo Hokben 1-30 Juni 2023, beli Paket Jigoan atau Paket Hoka Ramen gratis menu minuman.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Seorang pensiunan karyawan PT Kereta Api (KAI) Persero bernama Eddy Sasongko menggugat PT KAI, yakni kepala Daerah Operasi I PT KAI Persero Jakarta dan Kepala Kpolisian RI yakni Kepala Kepolisian Jakarta selatan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Kuasa hukum Eddy, Rusdianto Matulatuwa mengatakan kliennya adalah pensiunan karyawan PT KAI yang mendapat rumah dinas di atas tanah negara dari KAI. Rumah dinas tersebut terletak di Manggarai Utara IV No.D5, Jakarta Selatan. Eddy memperoleh rumah dinas itu dengan membayar uang pindah kepada Pamekas sebesar Rp 80 juta dan keluarga Rivai sebesar Rp 50 juta karena keduanya selaku penghuni di Paviliun dari Rumah Induk di Jalan Manggarai Utara.

Namun terhitung sejak 1 Agustus 2007, Eddy tidak bekerja lagi di KAI. Namun Eddy masih mempunyai hak tinggal di rumah dinas tersebut, apalagi ia mengeluarkan sejumlah uang saat menempati rumah tersebut. Namun KAI melalui surat Nomor: 073/Aset-1/UM/II/DI-2014 tanggal 26 Februari 2014 memberi peringatan kepada Eddy untuk mengosongkan rumah dinas tersebut.

Rusdianto mengatakan, KAI melayangkan peringatan pertama, kedua dan ketiga kepada Eddy belum juga mengosongkan rumah dinas itu, KAI melakukan pengosongan paksa pada 24 April 2014. KAI menggandeng personil kepolisian berjumlah 200 orang.

Namun pengosongan paksa itu tanpa disertai gugatan di pengadilan terlebih dahulu. Artinya tindakan pengusiran paksa itu tidak disertai dengan penetapan pengadilan. "KAI dan Kepolisian melakukan tindakan main hakim sendiri," ujar Rusdianto kepada KONTAN, Selasa (25/11).

Apalagi, lanjut Rusdianto, pengosongan rumah dinas itu dilakukan dengan tindakan yang tidak manusiawi dengan merusak barang-barang milik Eddy. Padahal kepolisian sebagai institusi pengayom dan pelindung masyarakat seharusnya menegakkan hukum justru melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan pengurusan dan bertindak tanpa penetapan pengadilan.

Maka tindakan KAI dan Kepolisian yang melawan hukum tersebut termasuk perbuatan melawan hukum (PMH). Dengan begitu, Rusdianto menegaskan mereka harus membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita Eddy. Baik itu kerugian material maupun immaterial. Dari hitungan Rusdianto kliennya menderita kerugian material dengan total Rp 1,07 miliar dan US$ 350 . Kerugian itu berasal dari barang-barang pribadi milik kliennya baik itu perabotan, uang dan ijazah serta usahanya.

Eddy juga mengalami kerugian immaterial sebesar Rp 5 miliar karena harus menanggung malu atas perbuatan para tergugat tersebut. Karena itu, Rusdianto meminta majelis hakim menyatakan para tergugat telah melakukan PMH dan menghukum mereka memberikan ganti rugi secara tanggung renteng.

Atas gugatan itu, kuasa hukum KAI Agung Fatahillah dalam berkas jawabannya mengatakan KAI tidak melakukan PMH sebagaimana dituding Eddy. Ia bilang setelah tiga bulan Eddy tidak lagi bekerja di KAI maka haknya menempati rumah dinas berakhir. Karena itu, KAI berhak melakukan pengosongan rumah tersebut dengan meminta bantuan pihak kepolisian.

"Dalil bahwa KAI telah melakukan perbuatan main hakim sendiri adalah tidak berdasar dan mengada-ngada," terang Agung.

Selain itu, permintaan ganti rugi barang tidak berdasar dan mengada-ngada. Sebab sudah seharusnya, Eddy lah yang bertanggung jawab atas barang-barang miliknya. Kemudian ia juga harus bisa membuktikan atas kehilangan barang-barang itu di pengadilan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×