Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Keinginan pemerintah pusat untuk menjadikan Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dari yang semula berstatus kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone/FTZ) tak berjalan mulus.
Salah satu kendala yang mendasar perihal dualisme pengelolaan kawasan di kota Batam sendiri. Polemik antara Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam dalam mengelolanya masih terus bergulir.
Kepala BP Batam Hatanto Reksodipoetro menyatakan, tidak mempermasalahkan soal konsep KEK tersebut, karena pihak BP Batam ditugaskan untuk menjalankan kebijakan dari pemerintah pusat.
“Saya tidak mempermasalahkan itu, terserah pemerintah pusat. Kami kan sebagai badan otoritas daerah menjalankan kebijakan besar dari pusat,” katanya, Jakarta, Kamis (10/8).
Ia melihat pengalihan status Batam dari FTZ menjadi KEK bukanlah solusi untuk mengurai dualisme pengelolaan kawasan Batam. Pasalnya, pemerintah belum memberikan regulasi perundangan untuk mendukung tugas dan kewenangan pihak BP Batam.
Sehingga, salah satu masalah yang kerap muncul di BP Batam adalah masalah turunan, seperti permasalahan lahan. "Ada masalah spekulan tanah dan maraknya lahan tidur yang mencapai 7.700 hektare (ha). Bahkan ada yang 28 tahun dibiarkan," terang Hartanto.
Ia juga menyebut masalah jumlah industri berteknologi menengah yang masih rendah, yakni mencapai 78% dari 715 industri yang saat ini ada di Batam. Sementara jumlah industri berteknologi tinggi hanya 7%. "Tentu hal ini jauh dari cita-cita awal Batam sebagai pusat industri teknologi tinggi," ungkapnya.
Menurut Hatanto, dalam kurun waktu 15-20 tahun terakhir, banyak penyimpangan yang terjadi di Batam. Ia menyebut pengalokasian lahan tanpa melihat tujuan penggunaan dan tujuan pengembangan wilayah.
"Pengalokasian lahan yang didasarkan pada kepentingan tertentu sehingga terjadi tumpang tindih dan perizinan diberikan tanpa prosedur yang berlaku demi mendapatkan dukungan untuk kepentingan tertentu," papar Hatanto.
Tidak hanya itu, Batam yang didapuk menjadi kawasan industry, ternyata sebagian besar wilayahnya, sekitar 45.000 ha atau sekitar 28,3% dari total luas wilayah justru menjadi daerah pemukiman. Angka tersebut jauh di atas luas kawasan industri yang hanya mencakup 16,6% dari total luas wilayah.
“Batam saat ini mengalami disorientasi arah pembangunan akibat aturan perundangan yang belum mendukung kewenangan BP Batam," kata Hatanto.
Hal senada juga diungkapkan oleh Gusmardi, Deputi BP Batam bidang Pelayanan Umum yang mengatakan, adanya sejumlah Undang-undang (UU) membuat gesekan antara BP Batam dan Pemkot Batam tak terhindarkan.
Keduanya memiliki dasar UU masing-masing untuk memperkuat posisi dan wewenangnya. BP Batam memiliki dasar dalam UU No 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Sedangkan Pemkot Batam berpegang pada UU No 23 Tahun 2014 Pemerintah Daerah.
"Menurut saya, ini kecelakaan sejarah yang dimulai dari munculnya otonomi daerah. Pemerintah nampaknya lupa mengecualikan Batam dari kebijakan otonomi daerah, padahal sejak awal Batam didesain menjadi daerah industri untuk teknologi tinggi," kata Gusmardi.
Ia mengatakan, tidak ada satupun aturan perundangan, peraturan pemerintah, dan perpres yang membatalkan kewenangan BP Batam. Bahkan, khusus untuk perizinan usaha, dibentuk lembaga pelayanan terpadu di bawah BP Batam sesuai Perpres No 97/2014.
Aturan tersebut dengan tegas menyatakan penyelenggaraan pengurusan perizinan dan non perizinan mulai dari yang menjadi urusan pemerintah, pemprov, pemkot di kawasan FTZ, diselenggarakan oleh BP Batam.
UU No 44/2007, sejalan dengan Keppres No 41/1973, menugaskan BP Batam untuk mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industri, kegiatan transshipment (pengalih-kapalan), merencanakan dan mengusahakan kebutuhan prasarana dan fasilitas Batam, serta mengelola perizinan investasi.
Aturan yang sama juga memberi wewenang kepada BP Batam yang meliputi tiga aspek yakni pertanahan (termasuk hak pengelolaan, peruntukan, penggunaan atas tanah dan menerima uang wajib tahunan atas tanah), pengembangan dan pengelolaan infrastruktur, dan pelayanan investasi.
Namun dalam praktiknya, tugas dan kewenangan tersebut tidak berjalan dengan mulus akibat munculnya 'dua nahkoda' dalam pengelolaan kawasan tersebut, yakni BP Batam dan Pemkot Batam.
Direktur Eksekutif Indef (Institute for Development of Economics and Finance) Enny Sri Hartati mengatakan, apa pun konsep pengelolaan Batam, baik berupa FTZ maupun nantinya menjadi KEK, polemik dualisme kepemimpinan antara BP Batam dan Pemkot Batam harus segera diselesaikan. Jika persoalan ini terus berlarut dan tidak berujung, maka Indonesia akan kehilangan momentum untuk mengoptimalkan potensi Batam.
Sementara persaingan Indonesia dengan berbagai kawasan industri yang saat ini berkembang pesat sangat luar biasa. “Berbagai macam kawasan industri yang bertetangga dengan kita sudah menawarkan berbagai insentif, fasilitas yang ditujukan untuk menarik investor untuk datang. Sementara kita masih berpolemik di dalam negeri mengenai kelembagaan dan sebagainya,” kata Enny.
Menurut Enny, kondisi saat ini sangat kontraproduktif untuk kemajuan Batam. Oleh karena itu, hal utama yang harus dilakukan pemerintah adalah segera mengakhiri polemik ini dan membangun suatu persepsi bersama bagaimana memajukan Batam. Selanjutnya, pemerintah bisa belajar dari kawasan-kawasan industri di negara lain yang sudah berkembang sangat pesat untuk pengelolaannya.
“Ternyata kalau kita kaji, suatu kawasan industri yang bisa menjadi daya tarik investor, mereka harus diberikan keistimewaan atau kekhususan dalam pengelolaannya. Karena dunia bisnis berkembang sangat dinamis dan cepat, sehingga kalau pemerintah telat merespon, regulasi tumpang tindih, tidak ada kepastian hukum, maka investor akan lari,” terang Enny.
Berbagai konsep pengelolaan Batam, baik FTZ maupun KEK tidak akan berjalan maksimal jika polemik tumpang tindih kewenangan antara BP Batam dan Pemkot Batam tidak segera diselesaikan. Untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih kewenangan, Enny berpendapat, pemerintah bisa menerbitkan aturan turunan dari UU yang menjadi dasar BP Batam dan Pemkot.
“Soal Batam ini persoalan politik dan hukum. Politik itu ada kepentingan daerah, sedangkan kalau dari landasan hukumnya aturan turunan untuk penjelasan teknisnya itu belum clear. Sehingga, tiap pihak menafsirkan dari persepsinya masing-masing. Karena dari UU peraturan turunannya belum ada, jadi soal kewenangan mulai tidak jelas,” jelas Enny.
Ia sendiri tidak mempermasalahkan siapa pengelola Batam dan ingin konsep seperti apa yang diterapkan. Yang jelas harus ada landasan hukum yang jelas, pendelegasian wewenang terhadap suatu lembaga juga jelas dan fasilitas infrastruktur yang mendukung.
“Yang perlu segera diselesaikan adalah bagaimana mengelola Batam menjadi satu kawasan yang investor friendly dan betul-betul bisa membangun infrastruktur yang dibutuhkan oleh investor Batam," ungkap Enny.
Menurutnya, infrastruktur yang paling ditunggu oleh investor adalah mengenai transismen. Maksudnya, bagaimana Indonesia bisa membangun suatu pelabuhan yang bisa menjadi penghubung Indonesia dengan berbagai negara dan Batam punya potensi tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News