Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan kasus penghilangan ayat tembakau dari Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang diajukan Hakim Sorimuda Pohan dari Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok (KAKAR).
Hakim tunggal Yonisman dalam putusan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (28/2/2012), menyatakan, pemohon tidak memiliki kapasitas sebagai subyek hukum untuk mengajukan permohonan karena mengatasnamakan pribadi.
"Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak dapat diterima," demikian hakim Yonisman membacakan putusannya.
Salah satu pertimbangan yang disampaikan hakim adalah, Pasal 80 KUHAP yang menyatakan pihak ketiga yang bisa mengajukan praperadilan atas nama pribadi adalah saksi yang menjadi korban suatu peristiwa pidana. Hakim Sorimuda sendiri mengajukan permohonan sebagai dokter spesialis kandungan, meskipun ia sebenarnya adalah anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Kesehatan.
Atas dasar itu pula, hakim PN Jakarte Selatan menilai pemohon tidak memenuhi kapasitas sebagai pihak ketiga yang dapat mewakili kepentingan masyarakat banyak. Pertimbangan lainnya, hakim menyatakan, doktrin hukum yang berlaku universal, warga masyarakat berhak melakukan legal standing atas nama organisasi kemasyarakatan atau atas nama kepentingan publik.
Menanggapi putusan hakim, pihak kuasa hukum pemohon akan mempertimbangkan pengajuan permohonan kembali atas nama LSM. Sebelumnya, Hakim Sorimuda Pohan mengajukan permohonan praperadilan dengan termohon Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
Praperadilan diajukan setelah Mabes Polri mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus penghilangan ayat tembakau dari RUU Kesehatan. Tiga anggota DPR sempat ditetapkan sebagai tersangka atas penghilangan sementara ayat yang menjelaskan bahwa tembakau mengandung zat adiktif. Mereka adalah Ribka Tjiptaning, Aisyah Salekan, dan Maryani A Baramuli.
Tim advokasi KAKAR menilai perbuatan menghilangkan pasal tembakau itu merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan direncanakan oleh oknum-oknum anggota DPR. Hal itu terbukti dari adanya nota bertulis tangan diparaf oleh oknum anggota DPR. Namun, Mabes Polri menilai tindakan mereka tidak termasuk kategori pidana dan lebih layak diselesaikan secara internal di DPR. (Imanuel More/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News