kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pesan terakhir Sertu Santoso kepada istri


Rabu, 27 Maret 2013 / 18:49 WIB
Pesan terakhir Sertu Santoso kepada istri
ILUSTRASI. Shiba Inu. (Photo by Thiago Prudencio/SOPA Images via REUTERS)


Reporter: Amal Ihsan Hadian | Editor: Amal Ihsan

YOGYAKARTA. Iin Indriyani (26) tidak mengira akan tertimpa musibah ini. Ia tidak tahu kenapa suaminya, Santoso (31), datang ke Diskotek Hugo’s, Yogyakarta, pekan lalu. Lebih-lebih, ia tidak mengira, Santoso yang berpangkat sersan satu itu kemudian tewas setelah menghadapi sepuluh orang.

Yang ia tahu, ia kini sendiri, dengan kehamilannya yang menginjak 8,5 bulan. Akhir April ini, anak pertamanya itu akan lahir. ”Terakhir, Abang pesan, namanya dipakaikan ke anak kami,” cerita Iin yang saat ditelepon sedang memeriksa kandungan ke dokter karena ada masalah dengan posisi bayinya.

Pesan soal nama itu disampaikan Santoso, 3 Maret, saat ia terakhir mengunjungi istrinya. Sejak menikah awal 2012, Iin tetap jadi pegawai negeri sipil di Palembang. Santoso bertugas di Grup 2 Komando Pasukan Khusus, lalu Kodim Kota Yogyakarta. Bagi Iin, Santoso adalah suami yang sabar. Ia tidak pernah berkata-kata kasar atau membentak, apalagi memukul. Kalaupun marah, nadanya hanya menasihati.

Setelah menikah, lalu Iin hamil, mereka menabung untuk persiapan kedatangan bayi.

Ia mengatakan tidak tahu apa yang telah terjadi menimpa suaminya. ”Bujangan-bujangan teman Abang bilang, Abang tidak pernah ke diskotek. Nyanyi saja tidak bisa,” kata Iin.

Teman-teman Santoso bercerita, Santoso tidak punya musuh. Minum minuman keras pun ia hampir tidak pernah karena tidak kuat.

Ia tidak ingin mengomentari insiden penyerbuan LP Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, yang menewaskan empat penusuk suaminya. ”Saya tidak tahu. Siapa sih yang ingin musibah ini terjadi?” katanya.

Tewasnya Santoso, menurut pihak yang menangani CCTV di Hugo’s, mengenaskan. Ia dianiaya bertubi-tubi oleh sekitar 10 orang sebelum tewas. Tidak saja ia ditendangi, dipukuli dengan botol, ia juga ditusuk berkali-kali, termasuk dengan pecahan botol. Darah berceceran di sejumlah tempat karena Santoso diseret dalam keadaan sekarat.

Empat tersangka yang kemudian dibunuh gerombolan ”siluman” juga bukannya tidak punya keluarga. Sama seperti Iin, keluarga yang sama-sama menjadi korban kini meratap dan bertanya-tanya tentang musibah yang menimpa mereka.

Kekerasan dibalas kekerasan. Hingga kini, belum terungkap siapa belasan orang yang membunuh empat tahanan di LP Cebongan. Mereka dikenali sebagai pasukan terlatih bersenjata AK 47 dan granat. AK 47 bukan senjata umum. Senjata ini menjadi standar TNI sejak zaman Orde Lama. Senjata kaliber 7,62 mm ini masuk gudang sejak SS jadi senjata standar. Bahkan, resminya AK 47 sudah dikumpulkan di direktorat peralatan tiga matra (darat, laut, dan udara) untuk dilebur.

Di tengah situasi ini, bagaimana pemerintah menjamin keamanan warganya kalau ternyata ada pasukan terlatih bersenjata yang bisa kapan saja dan di mana saja mewujudkan kehendaknya membunuh. Pertanyaan lebih besar muncul tentang alasan pembunuh itu mewujudkan kehendaknya membunuh.

Bagi penegak hukum dan penjaga wibawa negara, datanglah ujian ini. Mampu dan maukah Polri membongkar tuntas?

Terkait kasus seperti ini, Presiden Yudhoyono pernah berujar, negara tidak boleh kalah.

Kompas.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×