Sumber: TribunNews.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. PT Yastra Group yang berkantor di Gedung Sampoerna Strategic, tepat di jantung Ibu Kota, Jalan Jenderal Sudirman Kavling 45-46, Jakarta menghilang.
Perusahaan yang mempunyai beberapa anak perusahaan menempati beberapa lantai gedung tersebut. PT Yastra disebut-sebut terkait dengan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kantor ini terbilang tertutup. Akhir-akhir ini, Yastra Group beserta anak perusahaannya sudah pindah kantor dari gedung tersebut.
"Perusahaan Yastra sama grupnya sudah pindah sejak Desember 2013. Dan mereka tidak memberikan alamat kantor tempat barunya. Jadi, kami dari pengelola gedung juga enggak tahu kantor mereka sekarang di mana," ujar Sheila, Staf Pengelola Gedung Sampoerna Strategic, Sampoerna Land, saat ditemui Tribunnews.
Berdasarkan penelusuran Tribunnews di Sampoerna Strategic, para karyawan pengelola gedung itu menilai janggal kepindahan kantor Yastra. Sebab, kejadian ini kali pertama.
"Biasanya tenant-tenant yang ada di sini selalu kasih alamat kantor barunya. Kalau perusahaan ini enggak kasih keterangan apa-apa. Jadi, sejak mereka pindah, banyak surat-surat dari kurir yang terpaksa dikembalikan. Sebab, mereka sudah tidak di sini," kata Sheila.
Informasi yang dihimpun, Ibas memiliki saham di grup perusahaan itu. Ibas bekerja sama dengan Arief Purnama dan Aditya Janaka sebagai pihak yang mengelola perusahaan yang bergerak di bidang tambang itu.
Nama Ibas dikaitkan dengan penangkapan mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Saat itu, Rudi bersama Deviardi, pelatih golfnya, dan pihak swasta, tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) penyidik KPK pada 13 Agustus 2013. KPK menyita barang bukti dalam bentuk dolar Singapura. Uang suap itu diduga terkait kegiatan tender Migas di SKK Migas.
Dalam pengembangan penyidikan berikutnya, penyidik KPK menemukan sejumlah 284.862 dolar AS uang di kursi ruang kerja Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno.
Belakangan, Kuasa Hukum Deviardi, Effendi Saman mengungkap asal muasal dan peruntukan uang tersebut. Uang yang disimpan dalam tas kecil hitam bermerek Prada itu, menurut Effendi di Jakarta, Senin (9/12/2013), berasal dari Komisaris Kernel Oil Singapura Widodo Ratnachaitong untuk kepentingan tender proyek.
Uang itu diterima Deviardi dan diserahkan ke mantan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Selanjutnya, Rudi memberikan uang itu ke Waryono Karno dan anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Demokrat Tri Yulianto atas permintaan Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana untuk tunjangan hari raya (THR) bagi anggota Komisi Energi (VII) DPR.
Menteri ESDM Jero Wacik, menurut Effendi, mengetahui penerimaan uang yang dilakukan anak buahnya.
"Itu uang Widodo, karena nomor serinya sama antara di ruang Sekjen dengan di rumah Rudi. Rudi memberitahu ke Deviardi uang itu tidak hanya untuk kepentingan lebaran tapi juga beredar ke sekjen. Uang itu untuk negosiasi tata kontrak Migas yang terkait dengan Widodo," kata Effendi.
Deviardi mengaku pernah mendampingi Rudi bermain golf bersama Jero Wacik dan Waryono. "Saat bermain golf, mereka tidak pernah menyebutkan permintaan uang. Tapi mereka sering membicarakan persoalan migas dan proyek-proyek yang sedang dilaksanakan atau akan ditenderkan."
Menurut Effendi, setelah operasi tangkap tangan di rumah Rudi, Deviardi memberitahu ke penyidik KPK ada aliran uang ke Kementerian ESDM. Kemudian, KPK menggeledah ruang Waryono dan ditemukan uang itu.
Berdasarkan pengakuan Rudi dan Deviardi, menurut Effendi, uang dari Widodo tujuannya untuk pendanaan Partai Demokrat, mulai dari THR dan di ruang sekjen. Menurut Efendi, seperti dilansir situs metrotv 9 Desember 2013, ada empat politisi Partai Demokrat yang disebut dalam kasus itu yaitu Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro 'Ibas' Yudhoyono alias Ibas, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Jero Wacik, Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana, anggota Komisi VII Tri Yulianto. Indikasi semakin menguat, menurut Effendi, saat Widodo membicarakan Istana yaitu Ibas dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam.
"Deviardi mengatakan uang itu itu ada kepentingan lain yaitu kepentingan partai. Widodo pun menyebutkan nama Ibas dan Dipo Alam. Itu ketika Widodo mengatakan transaksi-transaksi yang direncanakan untuk partai tertentu. Kita nanti bicarakan detailnya di persidangan, karena tidak mungkin saya mengatakan sekarang," ujarnya. (Abdul Qodir)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News